Jumat, 09 Oktober 2020

The Universality of The Significant Words

 

Apakah tidak ada yang tidak berbeda?

"Cobalah untuk menyesuaikan perbedaan dan lalu setuju untuk tidak setuju terhadap perbedaan yang tidak dapat diluruskan".

By. Edward de Bono

 

Setiap manusia itu unik dan tidak ada yang persis sama. Termasuk mereka yang kembar identik. Bagaimana kita bersikap menghadapi perbedaan?  itu yang lebih penting. Jangan mempersulit diri kita sendiri maupun orang lain untuk selalu tampak tidak ada perbedaan.

 

Dalam berpasangan misalnya.  Seberapa moderat kita menerima dia seutuhnya? Dengan segala perbedaan yang tidak serta merta dapat kita ubah?

Bisakah kita menerima, bahwa hal-hal yang sama/saling sesuai diantara kita hanya   sepertiga sebagai ? Lalu   sepertiga berikutnya adalah penyesuaian atau kompromi. Sedangkan  sepertiga sisanya diterima sebagai perbedaan.  Walaupun dalam realitanya, tetap ada ada friksi untuk “memaksakan” porsi persamaan yang lebih besar.

Jika benar berpasangan adalah komitmen sekali seumur hidup,  mengapa tidak mengedapankan bahasa yang paling universal yang dapat diterima baik oleh kedua belah pihak? Apakah itu? Ketulusan Hati !

Dalam konteks keseharian, ketulusan hati menjadi 'jembatan pelangi' yang keindahannya sangat dirasakan tanpa perlu berkata-kata. Walaupun perbedaan tetap akan ada, tetapi ketika menyikapinya dengan hati yang tulus, terasa akan lebih damai.

Ketulusan hati adalah 'mata uang tanpa kurs' yang berlaku universal dimana-mana.

 

begitu sulit mencari kata yang tepat?

Entah karena apa, kadang kita mengalami kesulitan  menemukan kata-kata untuk mengungkapkan sesuatu dengan tepat. Biasanya apa yang akan kita lakukan? Tersenyum !

 

Baik itu senyum terpaksa, senyum pahit, senyum setengah berfikir  maupun senyum setengah menahan malu.  Apapun itu, senyum termasuk 'media transaksi' yang diterima di berbagai belahan bumi. Termasuk  salah satu bahasa universal yang dapat ditampilkan dalam berbagai kondisi.

 

Ketika memulai perkenalan, kita tersenyum. Ketika pamit, kita kembali tersenyum.

Ketika gembira, kita tersenyum. Ketika sedihpun kita tersenyum dengan sorot mata berduka.

Ketika jadian, kita tersenyum. Ketika putus kita juga tersenyum. Namun pahit

Itu baru beberapa contoh, betapa senyum adalah bahasa universal yang kondisional.

 

Aku dapat tersenyum kepada semua orang yang kutemui hari ini.

Aku memilih berbaik hati dan mengapresiasi orang lain.

Aku memilih untuk memiliki lebih banysak tawa dalam hidupku.

By Eileen Campbell

 

 

 

Ada apa dengan 'tolong', 'maaf' dan 'terimakasih' ?

 

Tanpa perlu dijelaskan panjang lebar, kita semua dekat dengan kata-kata 'tolong', 'maaf' maupun terimakasih. Namun terkadang kita menjauhi hal tersebut, karena merasa orang yang menyampaikan kata-kata tersebut lebih minor dibandingkan si penerima kata. Bagaimana dengan diri kita?

 

Ada saat kita meminta maaf. Di lain waktu, giliran kita yang memaafkan. Terlepas itu tulus, terpaksa atau pura-pura. Terlepas dimaafkan atau tidak.

 

Ada saat kita yang meminta tolong. Di Saat lain, orang lain yang meminta tolong. Baik itu dimungkinkan, diusahakan atau sebaliknya.

 

Demikian juga  dengan terimakasih. Kita seringkali mengucapkan atau diucapkan hal ini. Apakah kita juga berharap orang lain lebih sering mengucapkan hal itu ke kita. Atau kita yang lebih sering, terutama sebagai bentuk penghargaan kita atas kebaikan orang lain, misalnya.

 

 

Bagaimanapun kondisinya. Tiga kata tersebut, adalah kata-kata universal yang akan kita gunakan sebagai 'paspor' seumur hidup. Janganlah diberatkan dengan berbagai syarat dan ketentuan. Atau berubah menjadi  ajang barter yang menafikkan sejatinya kata-kata universal yang sangat bermakna tersebut.

 

 

Jangan pernah lupa bilang "terimakasih"

Jangan pernah gengsi bilang "maaf"

Jangan pernah jadi terlalu sombong untuk bilang "tolong"

Anonim

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar