Apakah tidak ada yang tidak berbeda?
"Cobalah untuk menyesuaikan perbedaan dan lalu setuju untuk tidak
setuju terhadap perbedaan yang tidak dapat diluruskan".
By. Edward de Bono
Setiap
manusia itu unik dan tidak ada yang persis sama. Termasuk mereka yang kembar
identik. Bagaimana kita bersikap menghadapi perbedaan? itu yang lebih penting. Jangan mempersulit
diri kita sendiri maupun orang lain untuk selalu tampak tidak ada
perbedaan.
Dalam berpasangan misalnya. Seberapa
moderat kita menerima dia seutuhnya? Dengan segala perbedaan yang tidak serta
merta dapat kita ubah?
Bisakah kita menerima, bahwa hal-hal yang sama/saling sesuai diantara
kita hanya sepertiga sebagai ? Lalu sepertiga berikutnya adalah penyesuaian atau
kompromi. Sedangkan sepertiga sisanya diterima
sebagai perbedaan. Walaupun dalam realitanya,
tetap ada ada friksi untuk “memaksakan” porsi persamaan yang lebih besar.
Jika benar berpasangan adalah komitmen sekali seumur hidup, mengapa tidak mengedapankan bahasa yang paling
universal yang dapat diterima baik oleh kedua belah pihak? Apakah itu? Ketulusan
Hati !
Dalam konteks keseharian, ketulusan hati menjadi 'jembatan pelangi' yang
keindahannya sangat dirasakan tanpa perlu berkata-kata. Walaupun perbedaan
tetap akan ada, tetapi ketika menyikapinya dengan hati yang tulus, terasa akan
lebih damai.
Ketulusan hati adalah 'mata uang tanpa kurs' yang berlaku universal
dimana-mana.
begitu sulit mencari kata yang tepat?
Entah
karena apa, kadang kita mengalami kesulitan menemukan kata-kata untuk mengungkapkan
sesuatu dengan tepat. Biasanya apa yang akan kita lakukan? Tersenyum !
Baik
itu senyum terpaksa, senyum pahit, senyum setengah berfikir maupun senyum setengah menahan malu. Apapun itu, senyum termasuk 'media transaksi'
yang diterima di berbagai belahan bumi. Termasuk salah satu bahasa universal yang dapat
ditampilkan dalam berbagai kondisi.
Ketika
memulai perkenalan, kita tersenyum. Ketika pamit, kita kembali tersenyum.
Ketika
gembira, kita tersenyum. Ketika sedihpun kita tersenyum dengan sorot mata
berduka.
Ketika
jadian, kita tersenyum. Ketika putus kita juga tersenyum. Namun pahit
Itu
baru beberapa contoh, betapa senyum adalah bahasa universal yang kondisional.
Aku dapat tersenyum kepada semua orang yang kutemui hari ini.
Aku memilih berbaik hati dan mengapresiasi orang lain.
Aku memilih untuk memiliki lebih banysak tawa dalam hidupku.
By Eileen Campbell
Ada
apa dengan 'tolong', 'maaf' dan 'terimakasih' ?
Tanpa
perlu dijelaskan panjang lebar, kita semua dekat dengan kata-kata 'tolong', 'maaf'
maupun terimakasih. Namun terkadang kita menjauhi hal tersebut, karena merasa orang
yang menyampaikan kata-kata tersebut lebih minor dibandingkan si penerima kata.
Bagaimana dengan diri kita?
Ada
saat kita meminta maaf. Di lain waktu, giliran kita yang memaafkan. Terlepas
itu tulus, terpaksa atau pura-pura. Terlepas dimaafkan atau tidak.
Ada
saat kita yang meminta tolong. Di Saat lain, orang lain yang meminta tolong. Baik
itu dimungkinkan, diusahakan atau sebaliknya.
Demikian
juga dengan terimakasih. Kita seringkali
mengucapkan atau diucapkan hal ini. Apakah kita juga berharap orang lain lebih
sering mengucapkan hal itu ke kita. Atau kita yang lebih sering, terutama
sebagai bentuk penghargaan kita atas kebaikan orang lain, misalnya.
Bagaimanapun
kondisinya. Tiga kata tersebut, adalah kata-kata universal yang akan kita
gunakan sebagai 'paspor' seumur hidup. Janganlah diberatkan dengan berbagai
syarat dan ketentuan. Atau berubah menjadi ajang barter yang menafikkan sejatinya
kata-kata universal yang sangat bermakna tersebut.
Jangan pernah lupa bilang "terimakasih"
Jangan pernah gengsi bilang "maaf"
Jangan pernah jadi terlalu sombong untuk bilang "tolong"
Anonim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar