Sabtu, 17 Oktober 2020

Happiness for Today, Not Waiting for the Future

 

"Ya, saya akan bahagia kalau rencana ini berhasil di realisasi…”

Benarkah demikian? Dalam salah satu survey yang dilakukan oleh goalfree.com di Amerika disimpulkan bahwa sekitar 41 % orang Amerika mengatakan sebaliknya, justru pada saat  sasaran tercapai sesuai rencana, mereka malah tidak bahagia ( Stephen M Shapiro, Goal Free Living, page: v). Antara lain karena proses yang dirasakan begitu berat / membebani sehingga terfokus pada hasil terbaik. Tanpa memikirkan ‘reward’ secara psikologis, seperti kebahagiaan.

Mengapa kita ‘harus’ menunda untuk bahagia? Mengapa hal bahagia tidak kita tetapkan sejak mengawali sesuatu?  Namun itulah yang biasanya kita lakukan. Padahal tidak ada suatu klausul dalam perjanjian apapun yang membatasi kebahagian kita.

Mungkin kita alpa menyadari, bahwa jika kita memulai sesuatu dengan rasa bahagia, bisa jadi hal yang berat menjadi lebih ringan. Rasa senang akan membuat kita lebih relaks mengerjakan sesuatu. Lebih nyaman juga jika ada koreksi atau masukan dari pihak lain yang belum tentu satu ide dengan kita.

Tanpa bermaksud mendebatkan hal ini lebih lanjut, memang secara umum begitulah  kondisinya di berbagai institusi. Baik dalam institusi keluarga, pendidikan, lingkungan, karir maupuan dalam culture tertentu. Bahwa orientasi pada prestasi atau hasil sering menyampingkan kebahagiaan kita. Keberhasilan kita untuk kebahagiaan mereka. Kebahagiaan mereka belum tentu menjadi kebahagian kita.

 

Bagaimana mungkin saya bahagia, kalau ada saja yang membuat saya khawatir…”

Bisa jadi, mungkin benar. Kita baru saja dipusingkan oleh berbagai hal yang mengkhawatirkan. Seperti perjalanan pergi dan pulang ke tempat kerja yang terkena macet dimana-mana. Atau kekhawatiran tertularnya covid-19 dari orang-orang yang tidak peduli menjaga protokol kesehatan. Sepertinya masih akan panjang lagi kalau di rinci daftar hal-hal yang menjadi kekhawatiran kita sejak bangun tidur sampai mau tidur lagi.  

Berbagai realita kehidupan, mungkin sudah jauh tertinggal di belakang. Namun terus kita bawa sampai hari ini. Belum lagi, kekhawatiran lain yang kita ‘pastikan’ akan mengganggu langkah kita ke depan. Padahal siapa yang dapat memastikan apa yang akan terjadi ke depan.  Bisa jadi  semua kekhawatiran tersebut ‘diperburuk’ oleh ‘scenario’ kita yang berisi hal-hal buruk? Salah?! Bukan, bukan itu point utamanya.

Sejatinya, kita memang mesti bersiap untuk hal terbaik dan terburuk. Namun bukan berarti kita mesti beraksi negatif sejak awal. Terlihat begitu menderita sampai tak ada celah untuk bahagia. Mengantisipasi agar hal buruk dapat dihindarkan atau diminimalisisasi jelas hal baik. Lebih baik bagaimana, mind set nya kita rubah dengan ungkapan yang lebih positif? Misalnya :

“Bukan Jakarta kalau tidak macet. Daripada mata saya stress melihat jalan yang padat merayap, sepertinya lebih menyenangkan jika saya dengerin musik favorit sambil baca bacaan ringan di bus”

“ Temu kangen kan banyak caranya.Selama pendemic belum berlalu, saya tetap bisa ngobrol seru via aplikasi bareng temen-temen sambil ngopi-ngopi juga… “

Rencanakan dan lakukan itu dengan menghadirkan nuansa bahagia. Kemacetan, pandemic atau keriuhan kehidupan tidak boleh lagi memisahkan diri kita dari bahagia. Pilihan untuk bahagia atau tidak, kontrol ada pada kita.

Ya, kekhawatiran tidak selalu buruk. Bagaimanapun juga kekhawatiran merupakan respond pengingat dari tubuh kita akan potential risk yang membutuhkan tindakan kita selanjutnya untuk mengatasi hal tesebut. Tapi jangan juga hidup kita ‘dijajah kekhawatiran’ sampai lupa bahagia.

“Don’t Worry Be Happy “

Kadang-kadang kita mesti membebaskan hal-hal yang memperberat beban pikiran kita. Jangan sampai “pikiran imajinasi” ( yang belum pasti jadi kenyataan ) memperburuk kualitas hidup kita secara pribadi, sebagai anggota keluarga, atau sebagai anggota suatu team atau masyarakat secara umum.

Untuk itu bagaimana jika kita mereduksi kekhawatiran yang berimbas pada kebahagiaan dengan berbagai cara, seperti :

·       Akui kalau kita khawatir, yakinkan juga bahwa kita akan menghadapinya. Sendiri maupun bersama-sama.

·       Akui, bahwa memang banyak hal di luar rentang kendali kita. Atau banyak masalah yang takes time atau sulit diselesaikan dengan tuntas.

·       Tidak berdiam diri, lakukan kegiatan olah raga atau berbagai gerakan ringan yang menyehatkan. Olahraga memicu perasaan nyaman dari endorfin.

·       Lebih sering tersenyum atau tertawa sekalian. Tentunya dalam konteks yang positif.

·       Aktif di kegiatan sosial, budaya maupun religi atau keminatan tertentu.

·       Banyak bersyukur dan berterimakasih kepada apapun dan siapapun.

·       Ruang pribadi atau me time

·       ….. ( silahkan ditambahkan)

Bagaimanapun, sampai kapanpun dan dimanapun kita akan bertemu  dengan ‘kekhawatiran’. Namun selalu ada cara untuk kita bahagia. Dimulai dari sini dan saat ini… Mari Berbahgia, kawan !


1 komentar: