"Ya, saya akan bahagia kalau rencana ini berhasil di realisasi…”
Benarkah demikian? Dalam salah satu survey yang dilakukan oleh goalfree.com
di Amerika disimpulkan bahwa sekitar 41 % orang Amerika mengatakan sebaliknya, justru
pada saat sasaran tercapai sesuai
rencana, mereka malah tidak bahagia ( Stephen M Shapiro, Goal Free Living, page: v). Antara lain karena proses yang dirasakan
begitu berat / membebani sehingga terfokus pada hasil terbaik. Tanpa memikirkan
‘reward’ secara psikologis, seperti kebahagiaan.
Mengapa kita ‘harus’ menunda untuk bahagia? Mengapa hal bahagia tidak kita tetapkan sejak mengawali sesuatu? Namun itulah yang biasanya kita lakukan. Padahal tidak ada suatu klausul dalam perjanjian apapun yang membatasi kebahagian kita.
Mungkin kita alpa menyadari, bahwa jika kita memulai sesuatu dengan rasa
bahagia, bisa jadi hal yang berat menjadi lebih ringan. Rasa senang akan
membuat kita lebih relaks mengerjakan sesuatu. Lebih nyaman juga jika ada
koreksi atau masukan dari pihak lain yang belum tentu satu ide dengan kita.
Tanpa bermaksud mendebatkan hal ini lebih lanjut, memang secara umum
begitulah kondisinya di berbagai
institusi. Baik dalam institusi keluarga, pendidikan, lingkungan, karir maupuan
dalam culture tertentu. Bahwa orientasi pada prestasi atau hasil sering
menyampingkan kebahagiaan kita. Keberhasilan kita untuk kebahagiaan mereka.
Kebahagiaan mereka belum tentu menjadi kebahagian kita.
“Bagaimana mungkin saya bahagia, kalau ada saja yang membuat saya
khawatir…”
Bisa jadi, mungkin benar. Kita baru saja dipusingkan oleh berbagai hal
yang mengkhawatirkan. Seperti perjalanan pergi dan pulang ke tempat kerja yang
terkena macet dimana-mana. Atau kekhawatiran tertularnya covid-19 dari
orang-orang yang tidak peduli menjaga protokol kesehatan. Sepertinya masih akan
panjang lagi kalau di rinci daftar hal-hal yang menjadi kekhawatiran kita sejak
bangun tidur sampai mau tidur lagi.
Berbagai realita kehidupan, mungkin sudah jauh tertinggal di belakang.
Namun terus kita bawa sampai hari ini. Belum lagi, kekhawatiran lain yang kita ‘pastikan’
akan mengganggu langkah kita ke depan. Padahal siapa yang dapat memastikan apa
yang akan terjadi ke depan. Bisa jadi semua kekhawatiran tersebut ‘diperburuk’ oleh ‘scenario’
kita yang berisi hal-hal buruk? Salah?! Bukan, bukan itu point utamanya.
Sejatinya, kita memang mesti bersiap untuk hal terbaik dan terburuk. Namun
bukan berarti kita mesti beraksi negatif sejak awal. Terlihat begitu menderita
sampai tak ada celah untuk bahagia. Mengantisipasi agar hal buruk dapat dihindarkan
atau diminimalisisasi jelas hal baik. Lebih baik bagaimana, mind set nya kita
rubah dengan ungkapan yang lebih positif? Misalnya :
“Bukan Jakarta kalau tidak macet. Daripada mata
saya stress melihat jalan yang padat merayap, sepertinya lebih menyenangkan
jika saya dengerin musik favorit sambil baca bacaan ringan di bus”
“ Temu kangen kan banyak caranya.Selama
pendemic belum berlalu, saya tetap bisa ngobrol seru via aplikasi bareng
temen-temen sambil ngopi-ngopi juga… “
Rencanakan dan lakukan itu dengan menghadirkan nuansa bahagia.
Kemacetan, pandemic atau keriuhan kehidupan tidak boleh lagi memisahkan diri
kita dari bahagia. Pilihan untuk bahagia atau tidak, kontrol ada pada kita.
Ya, kekhawatiran tidak selalu buruk. Bagaimanapun juga kekhawatiran
merupakan respond pengingat dari tubuh kita akan potential risk yang
membutuhkan tindakan kita selanjutnya untuk mengatasi hal tesebut. Tapi jangan
juga hidup kita ‘dijajah kekhawatiran’ sampai lupa bahagia.
“Don’t Worry Be Happy “
Kadang-kadang kita mesti membebaskan hal-hal yang memperberat beban
pikiran kita. Jangan sampai “pikiran imajinasi” ( yang belum pasti jadi
kenyataan ) memperburuk kualitas hidup kita secara pribadi, sebagai anggota
keluarga, atau sebagai anggota suatu team atau masyarakat secara umum.
Untuk itu bagaimana jika kita mereduksi kekhawatiran yang berimbas pada
kebahagiaan dengan berbagai cara, seperti :
·
Akui kalau
kita khawatir, yakinkan juga bahwa kita akan menghadapinya. Sendiri maupun
bersama-sama.
·
Akui,
bahwa memang banyak hal di luar rentang kendali kita. Atau banyak masalah yang takes
time atau sulit diselesaikan dengan tuntas.
·
Tidak
berdiam diri, lakukan kegiatan olah raga atau berbagai gerakan ringan yang
menyehatkan. Olahraga memicu perasaan nyaman dari endorfin.
·
Lebih
sering tersenyum atau tertawa sekalian. Tentunya dalam konteks yang positif.
·
Aktif di
kegiatan sosial, budaya maupun religi atau keminatan tertentu.
·
Banyak
bersyukur dan berterimakasih kepada apapun dan siapapun.
·
Ruang
pribadi atau me time
·
….. (
silahkan ditambahkan)
Bagaimanapun, sampai kapanpun dan dimanapun kita akan bertemu dengan ‘kekhawatiran’. Namun selalu ada cara
untuk kita bahagia. Dimulai dari sini dan saat ini… Mari Berbahgia, kawan !
Yuk. Insya Allah selalu mememukan jalan... BAHAGIA
BalasHapus