“Mengapa diam? ayo
jawab!”
Diam adalah juga salah satu cara untuk menjawab. Jawaban bersifat non
verbal. Jawaban yang ditunjukkan dengan menunjukkan sikap/simbol tertentu. Jadi
‘tidak salah’ jika orang memberikan jawaban dengan : diam tanpa berkata-kata.
Hanya saja , kita terbiasa dengan jawaban yang verbal. Menjawab secara verbal saja dapat menimbulkan perbedaan
tafsir. Apalagi jawaban dalam bentuk diam. Belum tentu “pesan” dari diam tersebut
dapat dimengerti oleh orang yang bertanya. Sehingga, jawaban dalam bentuk diam
membuat lawan bicara penasaran, kesal bahkan emosional.
Mungkin kita pernah ada di posisi yang hanya bisa menjawab dengan diam.
Atau pernah juga, ketika kita bertanya, orang tersebut diam tanpa kata-kata.
Misalnya hanya diam menunduk, diam sambil menghela nafas atau diam lalu pergi meninggalkan
kita.
“Aku sudah menjawab, dengan diam…”
Lalu mengapa jawaban ‘diam’ yang dipilih? Mungkin karena
terlalu sulit untuk dijawab. Mungkin juga karena tidak tahu jawaban. Atau bisa jadi karena jawabannya
terkait fakta yang mengganggu pikiran,
tidak nyaman, traumatis atau bisa jadi karena tidak ada alasan untuk menjawab.
Atau bahkan karena manganggap tidak ada gunanya menjawab pertanyaan tersebut.
Bisa juga disebabkan karena belum saatnya pertanyaan tersebut di jawab. Namun
yang menyebalkan adalah jika lawan bicara kita diam tidak menjawab, karena memang
tidak mendengarkan pertanyaan kita.
Yang menjadi concern kita adalah, saat “sumber”
fakta memilih bungkam atau ‘no comment’. Hal tersebut sering kali menimbulkan persepsi
yang keliru atas kebenaran suatu fakta. Pilihan untuk tidak menjawab alias diam
bukan tanpa resiko. Rasa ingin tahu orang lain sering kali menimbulkan isue
yang berkembang secara liar jauh dari fakta yang sebenarnya.
“Biar saja, waktu yang akan menjawab…”
Diakuai ataupun tidak. Sering
kali kita begitu -penasaran- mau tahu fakta sebenarnya. Entah untuk tujuan apa.
Bisa jadi sekedar ingin tahu. Atau untuk memuaskan rasa penasaran. Atau, bisa
jadi sebagai tanda empati kita pada orang tersebut. Padahal orang yang mengalaminya, mungkin belum siap secara psikis, jika harus
menjawab pertanyaan kita.
Pernahkah kita menyadari, bahwa mengungkapkan suatu fakta justru
menimbulkan ketidaknyamanan yang luar
biasa dari sisi yang mengalami? Apalagi jika fakta tersebut adalah tentang hal
yang sangat menyakitkan. Atau fakta yang menyudutkan dirinya, sehingga sulit
untuk menjawab dengan apa adanya. Mulai saat ini. Semoga, kita menjadi lebih mengerti,
mengapa kadang pengungkapan suatu fakta
dengan cara hanya menyebutkan inisial :
nama, lokasi dan waktu kejadiannya.
Diam adalah juga simbol untuk jawaban. Seperti permohonan untuk
memberikan waktu dan ruang pribadi atas suatu fakta yang terjadi pada orang tersebut.
Bisa juga sebagai pengantar pesan bahwa belum saatnya untuk mengungkapkan suatu
fakta. Atau memang fakta tersebut sangat private dan confidential.
Jadi, bagaimana kalau: mari kita menghargai pilihan orang untuk menjawab suatu
fakta dengan ‘diam.’ Sepanjang tidak ada norma apapun yang dilanggar. Atau
mengapa tidak kita biarkan saja fakta selengkapnya cukup diketahui oleh
pihak-pihak yang lebih berkompeten. Bukankah kita perlu concern dengan fakta kesibukan kita yang kadang dikejar deadline?
Kisah nyata tentang diam. Diam tidak selalu emas, tapi emas juga berhak diam. 🤔
BalasHapus