Minggu, 25 Oktober 2020

The Fact of No Comment

 

“Mengapa diam? ayo jawab!”

Diam adalah juga salah satu cara untuk menjawab. Jawaban bersifat non verbal. Jawaban yang ditunjukkan dengan menunjukkan sikap/simbol tertentu. Jadi ‘tidak salah’ jika orang memberikan jawaban dengan : diam tanpa berkata-kata.

Hanya saja , kita terbiasa dengan jawaban yang verbal. Menjawab secara  verbal saja dapat menimbulkan perbedaan tafsir. Apalagi jawaban dalam bentuk diam. Belum tentu “pesan” dari diam tersebut dapat dimengerti oleh orang yang bertanya. Sehingga, jawaban dalam bentuk diam membuat lawan bicara penasaran, kesal bahkan emosional.

Mungkin kita pernah ada di posisi yang hanya bisa menjawab dengan diam. Atau pernah juga, ketika kita bertanya, orang tersebut diam tanpa kata-kata. Misalnya hanya diam menunduk, diam sambil menghela nafas atau diam lalu pergi meninggalkan kita.

 

“Aku sudah menjawab, dengan diam…”

Lalu mengapa  jawaban ‘diam’ yang dipilih? Mungkin karena terlalu sulit untuk dijawab. Mungkin juga karena  tidak tahu jawaban. Atau bisa jadi karena jawabannya terkait  fakta yang mengganggu pikiran, tidak nyaman, traumatis atau bisa jadi karena tidak ada alasan untuk menjawab. Atau bahkan karena manganggap tidak ada gunanya menjawab pertanyaan tersebut.

Bisa juga disebabkan karena belum saatnya pertanyaan tersebut di jawab. Namun yang menyebalkan adalah jika lawan bicara kita diam tidak menjawab, karena memang tidak mendengarkan pertanyaan kita.

Yang menjadi concern kita adalah,  saat  “sumber” fakta memilih bungkam atau ‘no comment’. Hal tersebut sering kali menimbulkan persepsi yang keliru atas kebenaran suatu fakta. Pilihan untuk tidak menjawab alias diam bukan tanpa resiko. Rasa ingin tahu orang lain sering kali menimbulkan isue yang berkembang secara liar jauh dari fakta yang sebenarnya.

 

“Biar saja, waktu yang akan menjawab…”

 Diakuai ataupun tidak. Sering kali kita begitu -penasaran- mau tahu fakta sebenarnya. Entah untuk tujuan apa. Bisa jadi sekedar ingin tahu. Atau untuk memuaskan rasa penasaran. Atau, bisa jadi sebagai tanda empati kita pada orang tersebut.  Padahal orang yang mengalaminya,  mungkin belum siap secara psikis, jika harus menjawab pertanyaan kita.

Pernahkah kita menyadari, bahwa mengungkapkan suatu fakta justru menimbulkan ketidaknyamanan  yang luar biasa dari sisi yang mengalami? Apalagi jika fakta tersebut adalah tentang hal yang sangat menyakitkan. Atau fakta yang menyudutkan dirinya, sehingga sulit untuk menjawab dengan apa adanya. Mulai saat ini. Semoga, kita menjadi lebih mengerti,  mengapa kadang pengungkapan suatu fakta dengan cara  hanya menyebutkan inisial : nama, lokasi dan waktu kejadiannya.

Diam adalah juga simbol untuk jawaban. Seperti permohonan untuk memberikan waktu dan ruang pribadi atas suatu fakta yang terjadi pada orang tersebut. Bisa juga sebagai pengantar pesan bahwa belum saatnya untuk mengungkapkan suatu fakta. Atau memang fakta tersebut sangat private dan confidential. Jadi, bagaimana kalau: mari kita menghargai pilihan orang untuk menjawab suatu fakta dengan ‘diam.’ Sepanjang tidak ada norma apapun yang dilanggar. Atau mengapa tidak kita biarkan saja fakta selengkapnya cukup diketahui oleh pihak-pihak yang lebih berkompeten. Bukankah kita perlu concern dengan  fakta kesibukan kita yang kadang dikejar deadline?


1 komentar:

  1. Kisah nyata tentang diam. Diam tidak selalu emas, tapi emas juga berhak diam. 🤔

    BalasHapus