Kamis, 01 Oktober 2020

Kontekstual "Who am I "

“ Kak, saya cerita dulu ya siapa saya”

Hening sejenak. Terdengar suara nafas yang berat dan tertahan.

“ Tapi saya bingung, mau mulai dari mana ….”

Hening kembali. Mata tertunduk atau menerawang.

 

Ketika memulai percakapan, sebagian dari kita, terbiasa memperkenalkan diri dengan keteraturan waktu, asal mula maupun latar belakang. Seperti abjad yang dimulai dari ‘A’ atau sebaliknya dari ‘Z ke A’; Seperti  bilangan yang dimulai dengan angka ‘0’ ,  atau sebaliknya dari ‘9 ke 0”.  

Secara universal, hal tersebut lumrah dan normatif. Bahkan jika berkaitan dengan kesuksesan kehidupan pribadi, sosial, religi, ekonomi maupun politik dan sebagainya. Bisa jadi antusias kita -dan mungkin yang mendengarkan- akan meningkat saat menceritakan titik balik kehidupan. Menjadi daya tarik tersendiri karena yang disampaikan adalah “ The True Story “.

 

Sebentar !!

Pernahkan kita menyadari bahwa sebagian dari kita, justru setengah mati terganggu dengan “ The True Story” mengenai “ Who am I?”.  Bukan sekedar _mungkin_ pernah melakukan kesalahan fatal maupun terjebak dalam kondisi yang traumatis di masa lalu, sehingga ‘terpaksa’ menyembunyikan realita sebenarnya. Menghindar atau berkelit dari kemungkinan terbukanya jati diri.  Bisa jadi karena orang tersebut ingin memulai hari baru.  Tanpa terseret luka batin terdahulu baik di hari ini atau sampai masa depan.


Mungkin kita juga pernah punya pengalaman pribadi.  Berkenalan atau mengetahui bahwa  ada orang yang begitu membenci dirinya hingga putus asa. Depresi.   Sampai berfikir /  memutuskan untuk mengakhiri kehidupan. Walaupun keputusan tersebut sungguh memprihatinkan. Apapun alasan pembenarannya. 

Pertanyaannya, dalam keseharian bagaimana kita memaknai “ Who am I” orang lain maupun diri kita sendiri  secara positif, proposional dan kontekstual?

 

Owning our story and loving ourselves through that process is the bravest thing that we ever do

-Brene Brown, “the Gifts of Imperfection”.

 

Kontekstual “ Who am I”

“Who am I” ( siapa saya ) merupakan salah satu point saat menjalani psikotest sebagai karyawan baru maupun promosi. Hal tersebut,  antara lain untuk melihat korelasi maupun kesesuaian antara  potensi, bakat dengan jabatan tertentu. Apapun hasil testnya dikategorikan private & confidential dengan akses terbatas untuk diketahui.  Demikian juga dalam konteks counselling maupun treatment psikis, misalnya.

Sedangkan dalam konteks kehidupan sosial, budaya dan ekonomi, “Who am I” turut berperan ketika mempresentasikan diri kita sebagai bagian atau di luar bagian kelompok sosial tertentu.  Misalnya, kita merasa   sebagai wanita cantik. Berpendidikan magister dari universitas terkemuka. Mempunyai karir cemerlang di perusahaan paling diminati. Bertempat tinggal di pemukiman elite ibukota. Maka  dengan 'kriteria tersebut'  kita akan mempresentasikan diri untuk masuk ke kelompok sosial tertentu. 

Demikian juga sebaliknya. Walaupun mungkin, “Who am I” tersebut adalah produk rekayasa maupun hasil kerja keras dan prestasi yang luar biasa dengan tanda kutip.


Betapa pentingnya “Who am I” dalam konteks tersebut menurut sebagian dari kita, sehingga ketika terantuk masalah yang memerlukan keterlibatan profesional, menjadi kesulitan tersendiri di sesi-sesi awal counselling misalnya. Jika jati diri kita berbeda dengan kebanyakan orang, kita cenderung merasa menjadi yang terburuk. Menjadi “outsider”. Merasa pantas mendapat “hukuman sosial” atau konsekuensi sosial lainnya.  Lalu, bagaimana kita mempresentasikan diri kita atau orang lain selama ini?

Yang sering mengejutkan, kita kadang merasa asing atau tidak mengenal diri kita sendiri. Kita kadang mengingkari atau mempertanyakan keakuratan hasil psikotes yang menunjukkan potensi atau sebagian jati diri kita. Mungkin kita focus mengulik jati diri orang lain sampai “lupa diri”.

Tidak ada larangan (dalam konteks positive ) untuk mengenal siapa diri kita maupun diri orang lain. Apalagi didasari dengan pertimbangan kehati-hatian sesuai norma agama dan sosial budaya yang diakui kebenarannya. Namun apakah perlu dari A-Z?

Tidakkah cukup secara proporsional dan dalam konteks tertentu? Mengapa kita begitu tersinggung ketika oarng terdekat kita, menyembunyikan beberapa hal tentang jati dirinya? Tentunya ada pertimbangan khusus yang patut kita hargai, sepanjang tidak ada indikasi ke hal negatif

Mungkin kita pernah mengalami sendiri, betapa sulit menghentikan rumor ketika  jati diri kita yang sedemikian rupa kita sembuyikan, terlanjur menyebar tanpa ada konfirmasi dari kita.

Mari saling menghargai “Who am I”

Jangan membiarkan diri kita atau orang lain menegatifkan “Who am I”

 

Learn to free yourself from the expectations of others and walk away from the games they impose on you

Scott Barry Kaufman fr.  E.P. Torrance 

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Tercerahkan. Baca sambil angguk angguk, sambil mengamati diri. Makasih Kak Tuti tulisannya memberi makan pikiran banget. Nice share.

    BalasHapus
  3. Ish, serasa baca makalah pengembangan diri. Keren teh tuty..

    BalasHapus
  4. pembahasan tentang siapa saya dari seorang pakar... teh, endingnya aku suka banget jangan biarkan orang lain menegatifkan siapa kita..

    BalasHapus