Jumat, 02 Oktober 2020

Bahagia itu... Aku !!

 

“Kak, aku sangat bahagia jika dia salah memilih pengganti aku.”

Sambil membuang pandangan, ia melanjutkan.

“Lebih bahagia lagi, kalau pacarnya tersebut kabur dengan selingkuhannya. Sekalian biar dia tahu gimana sengsara rasanya diduakan!”

Dengan tersenyum sinis, ia terus meracau.

“Aku sangat bahagia, jika hidupnya porak-poranda karena ternyata dalam waktu singkat perempuan licik tersebut mengambil alih semua aset miliknya. Pada saat itu,  dengan memelas dia akan datang meminta maaf kepadaku. I never forgive him

Seolah scenario itu yang akan terjadi, ia meregangkan 5 jari tangan kiri di depan matanya.

“Aku tidak akan pernah menerima dia kembali!!”

“Kak,itulah lima hal kebahagian yang paling aku nanti ….”


Bahagia itu … Siapa?

Pernahkan kita dalam kondisi seperti di atas?

Menempatkan kebahagian kita karena orang lain.  Jika benar demikian, kita kehilangan sebagian sisi humanistiknya seorang manusia. Bagaimana jika scenario di atas sama sekali tidak terjadi? Sang mantan justru memiliki kehidupan yang lebih berbahagia dengan pasangan barunya. Kebahagian yang kita angankan hanyalah kata lain dari ketidakmampuan kita bangkit dari kegagalan suatu hubungan. Apapun alasannya.

Sebaliknya, bagaimana jika yang kita harapkan menjadi kenyataan. Benarkah kita akan begitu bahagianya. Apakah itu kebahagian sejati? Pernahkan kita terbesit kalau hal tersebut adalah kebahagiaan semu seorang pecundang.

Aku memilih untuk menerima apa yang telah terjadi

Aku dapat mengubah cerita yang kusampaikan ke diri sendiri

Aku (harus) melepaskan rasa sakit *) 

Siapapun kita. Dengan kondisi bagaimanapun kita. Mari bahagia !!

 

 

Bahagia itu…Bersyarat?

“Kak, apa masih pantas kalau saya bilang ingin bahagia?”

Mata sayu itu semakin nanar.

“ Tadinya saya kira bahagia itu adalah mempunyai fisik yang sempurna, pasangan yang mapan dan dihormati oleh sekitar, materi yang berkecukupan serta kenyamanan menikmati kehidupan….”

Sepuluh jari itu menutupi mata yang tak sanggup lagi memandang depan.

“Kak, saya tahu banyak yang kagum, iri maupun berkhayal punya kehidupan seperti yang saya jalani. Nyatanya, hal-hal tersebut hanya kebahagian yang sesekali. Hidup seperti di menara gading. Tidak ada toleransi jika saya berpenampilan buruk. Tak ada ampun, jika saya melakukan hal-hal bodoh. Tapi jika hal yang sama dilakukan oleh orang lain, mereka dapat memakluminya….”

Kita, sebagai individu. Sebagai bagian dari masyarakat, komunitas atau status sosial tertentu turut berperan dalam ‘menentukan’ kebahagiaan untuk orang lain. Harus atau benarkah seperti itu ?  Pernahkan kita secara sengaja atau tidak mengatakan yang intinya individu dengan kesempurnaan di atas,  tidak ada alasan untuk tidak bahagia? Pernahkan kita menganggap mereka tidak pantas untuk mengeluh bahwa tidak bahagia? Bahkan menganggap individu tersebut kurang bersyukur dianugrahi kesempurnaan sedemikian rupa.

 

Aku menanggalkan gambaran salah yang kumiliki tentang diriku sendiri.

Aku bersedia menemukan diri autentikku.

Aku mencintai diriku dan semua aspek di dalamnya. *)

 

Tulisan ini tidak akan mempertentangkan setiap penjelasan untuk jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Namun, jika boleh pernahkan kita renungkan apakah untuk bahagia seseorang mesti meminta izin atau stempel dari orang lain?

 

Bahagia itu…Apa?

“Kak, gue gak pernah mikir apakah gue bahagia atau gak….”

Bau tak sedap menyeruak setiap ia membuka mulut.

“Dia bahagia, gue lebih bahagia. Dia sedih gue lebih sedih.”

Bau menyengat tercium dari setiap hembusan nafasnya.

“ Gue kasih semua yang bikin dia bahagia, waktu yang habiskan bersama, segala pengorbanan seberat apapun itu, cinta mati gue, masa depan gue. Kalau masih kurang, sekalian aja jiwa gue! Tapi tetap aja dia bilang, gue gak bisa bisa kebahagiaan dia….”

Bau anyir menyebar dari setiap rongga kulitnya.

 Jika masih mungkin, pernahkan kita meluangkan waktu untuk berfikir. Bagaimana orang lain berusaha membahagiakan kita dengan segala ikhtiar. Atau mungkin pernahkan kita sampai lupa membahagiakan diri sendiri  karena sangat ingin membahagiakan orang lain. Namun tetap saja kita atau orang lain tersebut tidak merasa bahagia. Atau pernahkan apa yang kita sebut membahagiakan itu justru ‘menyengsarakan’ orang lain? Jangankan berterimakasih atau menghargai usaha untuk kebahagiakan tersebut. Yang ada terjun bebas di jalur ketidakbahagiaan.

 

Aku memiliki kepercayaan diri untuk menjadi diri sendiri.

Aku mengizinkan orang laim menjadi diri mereka sendiri.

Aku menghargai perbedaan antsra diriku dan orang lain.*)

 

Bahagia itu…Aku!

Namun apapun dinamika kebahagiaan, janganlah membiarkannya tanpa menjadi milik kita. Mari memiliki kebahagiaan itu masing-masing atau bersama tanpa banyak syarat dan ketentuan. Miliki berbagai kebagiaan setiap waktu setiap hari, jangan terbatas sepanjang tidak mengganggu kebahagiaan orang lain. Hari ini aku bahagia karena bersyukur dapat menghirup udara pagi yang bersih, menikmati cantiknya sun rise, menjentik embun di daun, menunggu kuncup melati bermekaran esok hari serta menuliskan ini semua sambil tersenyum.

 

“Listen to your heart, Live with Gratitude, anf Find Your Bliss”

By Eileen Campbell

 

 

 

*) Saduran bebas dari quote – quote  “ the Woman’s Book of Joy” by Eileen Campbell. 2018

2 komentar:

  1. Terima kasih untuk ceritanya yang mendeskripsikan kebahagiaan.
    Karena bahagia itu adalah diri kita sendiri yang menentukan.

    BalasHapus
  2. Bahagia itu bagaimana aku memperoleh kebahagaian, membaginya tanpa syarat kepada orang lain. Tanpa membebani diri untuk menilai kebahagian orang lain dengan membandingkan caraku dengan caramu. Atau menjadikan tolak ukur caramu sebagai bahagiaku. 🙈💪

    BalasHapus