Hubungan antar manusia menjadi kajian psikologi sosial yang menarik
-antara lain- karena unsur dinamikanya. Baik
dinamika intensitas atau frekuensi. Dinamika konflik dan konsensus yang
menyertainya. Ataupun keterlibatan berbagai jenis perasaan dalam kontekstual
suatu relasi.
Satu jenis perasaan bisa di sampaikan bahkan diterjemahkan dengan cara
yang berbeda oleh setiap orang. Perbedaan persepsi, cara pandang atau apapun
itu dapat menimbulkan ketidaknyamanan, ketidakharmonisan
bahkan konflik dalam suatu hubungan. Apakah perasaan rindu, termasuk satu diantaranya?
“Manalah diri tidak merindu dendam.
Temu kita sebatas bertukar senyum.
Andaikan bukan karena jarak tak tergengam
Sudah sejak kemarin rindu kutikam….”
Secara harfiah, ‘disepakati’ bahwa
rindu sebagai ungkapan perasaan kita yang menginginkan sesuatu hal atau terhadap
seseorang. Dengan alasan apapun yang
dinyatakan maupun disamarkan. Bisa jadi hal tersebut berkorelasi dengan masa
lalu. Atau sesuatu yang diharapkan terjadi dan mempunyai indikasi psikologi ‘harus’
bertemu. Baik itu realistis maupun di tingkat khayalan.
Mungkin benar masih ada harapan. Sehingga hal yang dirindukan tersebut dapat
direalisasikan. Namun tidak jarang, kerinduan itu sebatas kerinduan. Mustahil
terwujud. Kecuali dalam mimpi dan khayalan.
“Mata bergetar saling menunggu
Menjerat fajar bekukan rindu
Jika berakhir tersisa residu
Jika terlanjur berakar, sudahi rindu”
Keterikatan kita dengan perasaan rindu terkadang begitu kuatnya, sehingga kerinduan tersebut
dapat menyingkirkan hal yang realistis. Mengapa? Karena kita menanamkan di otak
kita, hal yang kita rindukan akan menjadi kenyataan sesuai keyakinan itu. Apalagi
jika otak kita penyimpan pengalaman serupa sebelumnya. Baik berasal dari pengalaman
pribadi maupun pengalaman orang lain yang kita ‘adopsi’.
“Bukan daun mengingkari ranting
Ketika bertebaran digoyah ranting
Mungkin tanah demikian rindu
Tetap setia menanti tanpa keluh….”
Rindu
adalah hal yang manusiawi. Terkadang tidak membutuhkan narasi panjang lebar.
Cukup dirasakan.
Cukup
dibayangkan. Atau sangat disayangkan jika berdiam diri, tertutup di ujung dan pangkalnya
Beberapa
hal terkait ‘rindu’ begitu sering menggelitik kita. Apalagi bahwa rindu -bisa
jadi- bukan faktor tunggal. Sering kita melihat orang yang menitikkan air mata
karena menahan kerinduan yang begitu mendalam. Merasa sedih karena rindu yang
tidak berkesudahan.
“Nyatanya mekar purnama telah berlalu
Ilalang tertahan diperdaya abu sekam
Katakan pada tanah yang rindu seroja
Mampukah kita meggubah kabar?....”
Namun rindu terkadang justru menghadirkan senyum. Seperti kerinduan kita mengulang cerita indah dari masa lalu. Rindu bisa juga menghadirkan fakta unik. Misalnya, kita sangat rindu pada seseorang atau sesuatu namun karena suatu alasan, kita berkilah. Jadilah kita berkamuflase dalam berkata-kata. Terdengar aneh, emosional dan membingungkan orang yang mendengarnya. Dalam kondisi seperti ini apa yang terjadi dengan otak kita?
Ketidakmampuan atau ketidakmauan kita mengatasi ‘rindu’ dapat mengganggu
kinerja otak yang berimplikasi pada kegiatan keseharian dan perasaan yang lain.
Seperti tidak focus, gelisah atau serba salah sehingga merugikan diri kita
maupun orang lain yang terkait dengan kita.
“Walaupun sulit melepaskan kerinduan
Jangan hidup berkalang khayalan
Kalaupun sempat terlena candu kerinduan
Jangan terus berkubang kenangan.”
Jadi
kita boleh rindu. Merindukan bahkan dirindukan. Dengan catatan, tidak kehilangan
orientasi kita akan waktu dan ruang saat ini. Rindu yang tetap mampu tersenyum. Rindu tanpa menyiksa
diri.
Aku pernah Menyesap
rindu
Aku tersisih sebab
rindu
Aku mengurai kerinduan tanpa rindu
Rindu pun telah di sepakati oleh otak untuk hadir dan terkoneksi dengan kejadian tertentu. Yang diperlukan adalah cara mengendalikan ketidakberdayaan yang mengganggu kinerja keseharian #noted Kak Tuti. Kembali tercerahkan.
BalasHapusKakak menjabarkan dengan baik dari sekian banyak buku yang telah terbaca itu demi tema hari ini. Nice Share, selalu menginspirasi. Mantap.