Selasa, 20 Oktober 2020

Still Waiting

 


Hari ini aku terbangun dari tidur.  Tidur ? Anggap saja seperti itu. Sudah bertahun-tahun aku mengalami kesulitan untuk tidur di malam hari.  Sepanjang malam,  lebih sering terjaga daripada tertidur. Untungnya aku menyukai berbagai aktivitas _yang dapat dilakukan_ di jam yang semestinya digunakan untuk mengistirahatkan fisik dan jiwa tersebut. Anehnya, siang hari aku tetap bisa beraktivitas seperti biasa.  Tidak terganggu oleh rasa kantuk karena kurang tidur.



Beberapa aktivitas yang aku lakukan saat sulit tidur adalah membuat sketsa atau menonton ulang pertandingan sepak bola internasional dari team-team favorit aku. Terkadang kuhabiskan malam dengan  mendengarkan musik atau menulis. Hal tersebut aku lakukan di ruang baca yang terletak pas di depan kamar tidur aku. Ditemani HP yang standby/full charged.

Namun tidak seperti hari-hari sebelumnya. Tadi,   baru mendengarkan beberapa lagu, mataku sudah terasa berat. Padahal biasanya, lirik lagu sangat membantu mengalirkan berbagai ide  untuk menulis seperti,  yang aku tulis untuk 30 Hari Menulis Cerita. Al hasil, walaupun tidak ada ide yang datang, tapi aku bersyukur karena sempat tidur malam, meski hanya beberapa jam saja. Thanks God!

Sejuknya udara pagi, menyambutku dengan ramah, saat aku berjalan ke beranda depan rumah. Sempat kulirik di atas kursi “princess kitty” kucingku dengan tubuh melingkar masih pulas tertidur. Aku ragu untuk membangunkannya. Walaupun sebenarnya, ingin aku ajak berolah raga. Atau setidaknya jalan-jalan pagi di sekitar lingkungan perumahan saja.



Semula aku berpikir,  tidak banyak tetangga yang berolah raga atau sekedar jalan-jalan pagi sekitar pukul 05.00 WIB. Sehingga aku dapat menikmati pagi dengan bebas tanpa berbasa-basi ketika berpapasan dengan tetangga. Lebih focus berolah raga, sebelum nantinya berangkat ke tempat kerja.

Rupanya, aku salah! Saat tiba di lapangan olah raga, aku melihat cukup banyak orang yang sedang berolah raga. Bahkan tampak ada yang datang bersama keluarga. Formasi lengkap : ibu, bapak dan anak-anak. Sepagi ini mereka sudah berkumpul di lapangan. Sepagi ini, sebelum terbit fajar.

Sebagian ada yang melakukan senam ataupun olahraga ringan lainnya dengan gerakan suka-suka. Yang penting sehat, katanya. Aku melihat senyum yang terpancar dari wajah-wajah mereka.  Sedangkan sebagian lagi, yang juga datang dengan pakaian olah raga, namun lebih asik mengobrol. Apapun itu, aku yakin mereka sangat menikmati indahnya pagi hari ini. Mungkin kondisi tersebut sudah sejak kemarin-kemarin ada. Aku saja yang terlambat mengetahuinya.

Melihat keakraban yang terjadi, tak ada pilihan lain, kecuali segera bergabung dengan keseruan mereka. Namun mungkin karena jarang bertemu, aku jadi lebih banyak tersenyum dan berkata sekedar basa-basi. Rasanya lumayan, cukup menyenangkan.

Sekitar satu jam kemudian, aku pamit duluan. Kantorku lebih jauh dari mereka. Ternyata mereka tahu. Padahal hal mereka saja, aku baru tahu tadi.

Aku sempatkan pamit akan berangkat kerja kepada “ princess kitty” yang masih tertidur lelap. Jadi, aku Japri keponakan untuk memberi makan kucingku. Kemudian aku bergegas naik KRL tujuan Manggarai.

Oh ya selama pandemic covid 19, aku tidak selalu ke kantor. Pada hari-hari tertentu aku “Work From Home.” Walaupun diminta untuk meminimalisir menggunakan kendaraan umum seperti, angkot, bus maupun KA. Namun sesekali aku tetap menggunakan moda transportasi tersebut. Seperti hari ini.

Aku merasakan, pagi ini sungguh menyenangkan termasuk pada saat naik KRL. Ketika turun kereta, tidak jauh dari stasiun aku mampir untuk sarapan di warung makan pinggir jalan.  Saat antri, aku sempat melihat anak muda, sepertinya pekerja bangunan yang sedang mengaduk nasi dalam piring yang dipenuhi indomie. Nikmat sekali !

Lalu akupun makan sambil tersenyum.  Membayangkan anak muda tadi, yang dalam waktu singkat menghabiskan makanan penuh karbohidrat dengan sangat nikmatnya tersebut. Rasanya aku jadi ingat sesuatu.

Ya, waktu kuliah. Aku dan ‘mantan’ pernah makan nasi campur indomie di kantin belakang kampus. Sepiring berdua. Ditemani rintik hujan. Dia berujar bahwa kenangan manis seperti ini, biarlah cukup sekali seumur hidup.  Nantinya akan menjadi salah satu cerita indah masa tua kami. Namun kini, ia nun jauh disana, Menara Eiffel berdiri tegak menemaninya. Bukan aku.

Aku juga masih ingat, sebelum berangkat melanjutkan pendidikan spesialis  ke  Perancis, dia berpesan agar aku setia menunggunya sampai kembali ke tanah air.

Sungguh, aku setia menunggu kabar darinya sampai sulit tidur. Aku tetap setia waktu aku mendengar dia memilih menetap disana. Aku setia menunggu, walau malam ini terasa gelap gulita, karena telat menyadari bahwa token listrik sudah habis.

 


1 komentar:

  1. Ringan enak di baca. Aku ditantangan ini sulit sekali merangkao kata. Ini tema terberat sepertinya

    BalasHapus