Hari ini aku terbangun dari tidur. Tidur ? Anggap saja seperti itu.
Sudah bertahun-tahun aku mengalami kesulitan untuk tidur di malam hari. Sepanjang malam, lebih sering terjaga daripada tertidur.
Untungnya aku menyukai berbagai aktivitas _yang dapat dilakukan_ di jam yang semestinya
digunakan untuk mengistirahatkan fisik dan jiwa tersebut. Anehnya, siang hari
aku tetap bisa beraktivitas seperti biasa. Tidak terganggu oleh rasa kantuk karena kurang
tidur.
Beberapa aktivitas yang aku lakukan saat sulit tidur adalah membuat
sketsa atau menonton ulang pertandingan sepak bola internasional dari team-team
favorit aku. Terkadang kuhabiskan malam dengan mendengarkan musik atau menulis. Hal tersebut
aku lakukan di ruang baca yang terletak pas di depan kamar tidur aku. Ditemani
HP yang standby/full charged.
Namun tidak seperti hari-hari sebelumnya. Tadi, baru mendengarkan
beberapa lagu, mataku sudah terasa berat. Padahal biasanya, lirik lagu sangat
membantu mengalirkan berbagai ide untuk
menulis seperti, yang aku tulis untuk
30 Hari Menulis Cerita. Al hasil, walaupun tidak ada ide yang datang, tapi
aku bersyukur karena sempat tidur malam, meski hanya beberapa jam saja. Thanks
God!
Sejuknya udara pagi, menyambutku dengan ramah, saat aku berjalan ke
beranda depan rumah. Sempat kulirik di atas kursi “princess kitty” kucingku
dengan tubuh melingkar masih pulas tertidur. Aku ragu untuk membangunkannya. Walaupun
sebenarnya, ingin aku ajak berolah raga. Atau setidaknya jalan-jalan pagi di
sekitar lingkungan perumahan saja.
Semula aku berpikir, tidak banyak
tetangga yang berolah raga atau sekedar jalan-jalan pagi sekitar pukul 05.00
WIB. Sehingga aku dapat menikmati pagi dengan bebas tanpa berbasa-basi ketika
berpapasan dengan tetangga. Lebih focus berolah raga, sebelum nantinya
berangkat ke tempat kerja.
Rupanya, aku salah! Saat tiba di lapangan olah raga, aku melihat cukup
banyak orang yang sedang berolah raga. Bahkan tampak ada yang datang bersama keluarga.
Formasi lengkap : ibu, bapak dan anak-anak. Sepagi ini mereka sudah berkumpul
di lapangan. Sepagi ini, sebelum terbit fajar.
Sebagian ada yang melakukan senam ataupun olahraga ringan lainnya dengan
gerakan suka-suka. Yang penting sehat, katanya. Aku melihat senyum yang
terpancar dari wajah-wajah mereka. Sedangkan sebagian lagi, yang juga datang
dengan pakaian olah raga, namun lebih asik mengobrol. Apapun itu, aku yakin
mereka sangat menikmati indahnya pagi hari ini. Mungkin kondisi tersebut sudah sejak
kemarin-kemarin ada. Aku saja yang terlambat mengetahuinya.
Melihat keakraban yang terjadi, tak ada pilihan lain, kecuali segera
bergabung dengan keseruan mereka. Namun mungkin karena jarang bertemu, aku jadi
lebih banyak tersenyum dan berkata sekedar basa-basi. Rasanya lumayan, cukup
menyenangkan.
Sekitar satu jam kemudian, aku pamit duluan. Kantorku lebih jauh dari
mereka. Ternyata mereka tahu. Padahal hal mereka saja, aku baru tahu tadi.
Aku sempatkan pamit akan berangkat kerja kepada “ princess kitty” yang masih
tertidur lelap. Jadi, aku Japri keponakan untuk memberi makan kucingku. Kemudian
aku bergegas naik KRL tujuan Manggarai.
Oh ya selama pandemic covid 19, aku tidak selalu ke kantor. Pada hari-hari
tertentu aku “Work From Home.” Walaupun diminta untuk meminimalisir menggunakan
kendaraan umum seperti, angkot, bus maupun KA. Namun sesekali aku tetap menggunakan
moda transportasi tersebut. Seperti hari ini.
Aku merasakan, pagi ini sungguh menyenangkan termasuk pada saat naik
KRL. Ketika turun kereta, tidak jauh dari stasiun aku mampir untuk sarapan di
warung makan pinggir jalan. Saat antri,
aku sempat melihat anak muda, sepertinya pekerja bangunan yang sedang
mengaduk nasi dalam piring yang dipenuhi indomie. Nikmat sekali !
Lalu akupun makan sambil tersenyum. Membayangkan anak muda tadi, yang dalam waktu singkat
menghabiskan makanan penuh karbohidrat dengan sangat nikmatnya tersebut. Rasanya
aku jadi ingat sesuatu.
Ya, waktu kuliah. Aku dan ‘mantan’ pernah makan nasi campur indomie di
kantin belakang kampus. Sepiring berdua. Ditemani rintik hujan. Dia berujar
bahwa kenangan manis seperti ini, biarlah cukup sekali seumur hidup. Nantinya akan menjadi salah satu cerita indah
masa tua kami. Namun kini, ia nun jauh disana, Menara Eiffel berdiri tegak menemaninya.
Bukan aku.
Aku juga masih ingat, sebelum berangkat melanjutkan pendidikan spesialis
ke Perancis, dia berpesan agar aku setia menunggunya
sampai kembali ke tanah air.
Sungguh, aku setia menunggu kabar darinya sampai sulit tidur. Aku tetap
setia waktu aku mendengar dia memilih menetap disana. Aku setia menunggu, walau
malam ini terasa gelap gulita, karena telat menyadari bahwa token listrik
sudah habis.
Ringan enak di baca. Aku ditantangan ini sulit sekali merangkao kata. Ini tema terberat sepertinya
BalasHapus