“The Fact is, there is no foundation, no
secure ground, upon which people may stand today if it isn’t the family.’
Mitch Albon_ Tuesday with Morrie
Bagi Morrie Schwartz, seperti yang disampaikan kepada Mitch Albon. Tanpa
dukungan, cinta, kasih sayang dan perhatian yang kita peroleh dari keluarga,
kita seperti tidak memiliki apapun. Bahwa peran keluarga tidak hanya memberi
cinta , tapi juga membuat kita tahu bahwa ada seseorang yang terus
memperhatikan kita. ‘Rasa aman spiritual’, yakni rasa aman karena tahu ada
keluarga yang memperhatikan kita. Tidak ada yang dapat menggantikan peran itu.
Tidak harta. Tidak kemasyuran. Tidak juga pekerjaan.
“Kak, sekarang
kamu tahu kan, kenapa aku ingin mati rasanya…?”
Ya,
kehilangan satu persatu anggota keluarga tentu bukan sesuatu yang mudah untuk
dia. Di usia yang masih begitu muda. Ditinggalkan selamanya oleh orang tua. Lalu
di jauhi oleh keluarga besar, tanpa alasan yang dapat diterima akal sehat. Berpisah dari pasangan. Sungguh tragis. Merasa
merana sebatang kara.
Kebersamaan,
curahan kasih sayang dan perhatian yang ‘mendadak’ terenggut dari keseharian, membuat
dirinya kehilangan orientasi untuk
melanjutkan langkah. Namun, bukanlah alasan pembenaran / jalan pintas
untuk mengakhiri kehidupan.
Benar
bahwa bersama keluarga hidupnya seakan sempurna. Menjalani warna warni masa
kecil yang menyenangkan sebagai anak
tunggal. Menikmati romantika masa remaja yang indah didampingi orang tua agar
tidak salah langkah. Rasanya baru kemarin. Rasanya masih limbung, belum siap
kalau sendiri seperti ini tanpa orang tua.
Siap
tidak siap. Kenyataannya, mulai saat itu ia tidak lagi didampingi oleh orang
tua. Daripada menyesali takdir atau mengharapkan yang tidak mungkin kembali, mengapa
tidak ‘menghidupkan’ orangtua dengan mengingat tuntunannya. Mengikuti
nasehatnya. Sesungguhnya sosok mereka tetap ada bersama kita. Bukan secara fisik. Namun abadi di hati dan pikiran kita.
“Kak, apakah kakak
mau menerima aku sebagai anggota keluarga baru?”
Aku pastikan,
jawabannya adalah ‘iya’.
Kita bisa saja menjadi anggota keluarga. Tanpa ikatan darah. Tidak dalam satu Kartu Keluarga. Itulah keluarga dalam arti luas.
Mengalami semua atau suatu fase sebagaimana keluarga pada umumnya. Saling
menyayangi, memberi perhatian satu sama lain dan tidak meninggalkan kita
sendirian di saat sulit. Termasuk berbagai hal ideal dalam konteks suatu
keluarga.
Tanpa perlu mempertentangkan, membandingkan atau mencari persamaan secara
normatif, pemaknaan ‘keluarga’. Walau
keluarga sebagai institusi tidaklah selalu sesempurna itu.
Bagi Kevin seorang anak yang dibelenggu masa lalu, atau Sheila yang
kehilangan kenangan masa kecil bahkan Venus kecil yang terus berduka*) Keluarga
adalah ‘hantu’ yang merusak fisik dan mental mereka. Sedemikian parahnya kehidupan
keluarga, sehingga malah meraka harus dijauhkan dari keluarga inti / keluarga
kandung. Dibutuhkan bantuan tenaga profesional serta keluarga pengganti, agar
mereka dapat melanjutkan kehidupan sebagai insan normatif lainnya. Namun masih
begitu banyak anak lainnya yang mengalami hal sama namun ‘ tidak tertolong’.
“Mbak,
bagi saya keluarga itu sekedar data kependudukan yang tertera di Kartu
Keluarga.”
Ya, saya mengerti setelah dengan takjub mendengarkan penuturannya. Bahwa
ayah ibunya datang dan pergi dari rumah kapan saja. Demikian juga adik dan
kakaknya. Tidak ada komunikasi dalam keluarga kecuali saling mengucapkan sumpah
serapah. Bahkan kekerasan fisik. Tapi mereka tetap satu keluarga. Yang ketika
pindah rumah, pindah alamat. Namun masih dalam kartu keluarga yang sama.
Bahkan, ia sempat berfikir. Apakah orang tua yang ia panggil sebagai ‘ayah’
dan ‘ibu’ adalah benar orangtua biologisnya? Mengapa begitu dingin kepada anak-anaknya.
Tidak pernah memberi dukungan atau pujian. Iapun tidak ingat apakah dulu saat
liburan sekolah, orangtua pernah mengajak mereka untuk piknik bersama. Atau
mengapa mereka jauh dari keluarga besar,
baik di pihak ibu maupun ayah.
Walaupun demikian, ia berprestasi sejak SD sampai lulus kuliah. Namun rasanya
hampa, karena orangtuanya tidak pernah mengapresiasi bahkan menanyakan perkembangnan
sekolah atau kuliahnya. Semua berlalu begitu saja. Diterima sebagai apa adanya,
tanpa pernah ingin bertanya. Ada apa dengan keluarganya?
Seperti juga Kevin, Sheila, Venus dan anak-anak lainnya yang berhasil
keluar dari pengalaman traumatik dalam keluarga, ia memilih untuk melanjutkan
hidup. Separah apapun kondisi keluarganya.
“Mbak, tapi saya tidak menyesal lahir dan besar sebagai anggota “Kartu
Keluarga”,nyatanya saya baik-baik saja sampai hari ini. “
*) Based on true story, berdasarkan pengalaman Torey Hayden mengajarkan anak-anak
yang berkebutuhan khusus.
Kata "keluarga" yang sederhana ternyata membutuhkan banyak kata untuk menjelaskannya ya teh. Ikut prihatin dengan anak, ayah atau ibu yang tidak bertumbuh dengan baik di keluarganya. Meski yang oaling banyak menderita adalah anak. aku berharap keluarga menjadi wadah yang paling nyaman dan aman utk semua orang.
BalasHapusYa kak. Setidaknya bahagia itu tidak mesti identik dengan keluarga kandung.
BalasHapusBenar banget kak. Rumahpun tidak selalu dalam bentuk rumah berdinding beton.
HapusKeluarga tercipta bisa di mana aja. Kalau menurutku yang menerima kita apa adanya. ππ