Rabu, 14 Oktober 2020

The Family Card

 


The Fact is, there is no foundation, no secure ground, upon which people may stand today if it isn’t the family.’

Mitch Albon_ Tuesday with Morrie

Bagi Morrie Schwartz, seperti yang disampaikan kepada Mitch Albon. Tanpa dukungan, cinta, kasih sayang dan perhatian yang kita peroleh dari keluarga, kita seperti tidak memiliki apapun. Bahwa peran keluarga tidak hanya memberi cinta , tapi juga membuat kita tahu bahwa ada seseorang yang terus memperhatikan kita. ‘Rasa aman spiritual’, yakni rasa aman karena tahu ada keluarga yang memperhatikan kita. Tidak ada yang dapat menggantikan peran itu. Tidak harta. Tidak kemasyuran. Tidak juga pekerjaan.

 

“Kak, sekarang kamu tahu kan, kenapa aku ingin mati rasanya…?”

Ya, kehilangan satu persatu anggota keluarga tentu bukan sesuatu yang mudah untuk dia. Di usia yang masih begitu muda. Ditinggalkan selamanya oleh orang tua. Lalu di jauhi oleh keluarga besar, tanpa alasan yang dapat diterima akal sehat.  Berpisah dari pasangan. Sungguh tragis. Merasa merana sebatang kara.

 

Kebersamaan, curahan kasih sayang dan perhatian yang ‘mendadak’ terenggut dari keseharian,   membuat dirinya kehilangan orientasi  untuk melanjutkan langkah.  Namun,  bukanlah alasan pembenaran / jalan pintas untuk mengakhiri kehidupan.

 

Benar bahwa bersama keluarga hidupnya seakan sempurna. Menjalani warna warni masa kecil yang menyenangkan  sebagai anak tunggal. Menikmati romantika masa remaja yang indah didampingi orang tua agar tidak salah langkah. Rasanya baru kemarin. Rasanya masih limbung, belum siap kalau sendiri seperti ini tanpa orang tua. 

 

Siap tidak siap. Kenyataannya, mulai saat itu ia tidak lagi didampingi oleh orang tua. Daripada menyesali takdir atau mengharapkan yang tidak mungkin kembali, mengapa tidak ‘menghidupkan’ orangtua dengan mengingat tuntunannya. Mengikuti nasehatnya. Sesungguhnya sosok mereka tetap ada  bersama kita. Bukan secara fisik. Namun abadi  di hati dan pikiran kita.

 


“Kak, apakah kakak mau menerima aku sebagai anggota keluarga baru?”

Aku pastikan, jawabannya adalah ‘iya’.

Kita bisa saja menjadi anggota keluarga. Tanpa ikatan darah.  Tidak dalam satu  Kartu Keluarga. Itulah keluarga dalam arti luas. Mengalami semua atau suatu fase sebagaimana keluarga pada umumnya. Saling menyayangi, memberi perhatian satu sama lain dan tidak meninggalkan kita sendirian di saat sulit. Termasuk berbagai hal ideal dalam konteks suatu keluarga.

Tanpa perlu mempertentangkan, membandingkan atau mencari persamaan secara normatif, pemaknaan ‘keluarga’.  Walau keluarga sebagai institusi tidaklah selalu sesempurna itu.

 

Bagi Kevin seorang anak yang dibelenggu masa lalu, atau Sheila yang kehilangan kenangan masa kecil bahkan Venus kecil yang terus berduka*) Keluarga adalah ‘hantu’ yang merusak fisik dan mental mereka. Sedemikian parahnya kehidupan keluarga, sehingga malah meraka harus dijauhkan dari keluarga inti / keluarga kandung. Dibutuhkan bantuan tenaga profesional serta keluarga pengganti, agar mereka dapat melanjutkan kehidupan sebagai insan normatif lainnya. Namun masih begitu banyak anak lainnya yang mengalami hal sama namun ‘ tidak tertolong’.

“Mbak, bagi saya keluarga itu sekedar data kependudukan yang tertera di Kartu Keluarga.”

 

Ya, saya mengerti setelah dengan takjub mendengarkan penuturannya. Bahwa ayah ibunya datang dan pergi dari rumah kapan saja. Demikian juga adik dan kakaknya. Tidak ada komunikasi dalam keluarga kecuali saling mengucapkan sumpah serapah. Bahkan kekerasan fisik. Tapi mereka tetap satu keluarga. Yang ketika pindah rumah, pindah alamat. Namun masih dalam kartu keluarga yang sama.

Bahkan, ia sempat berfikir. Apakah orang tua yang ia panggil sebagai ‘ayah’ dan ‘ibu’ adalah benar orangtua biologisnya?  Mengapa begitu dingin kepada anak-anaknya. Tidak pernah memberi dukungan atau pujian. Iapun tidak ingat apakah dulu saat liburan sekolah, orangtua pernah mengajak mereka untuk piknik bersama. Atau mengapa  mereka jauh dari keluarga besar, baik di pihak ibu maupun ayah.

Walaupun demikian, ia berprestasi sejak SD sampai lulus kuliah. Namun rasanya hampa, karena orangtuanya tidak pernah mengapresiasi bahkan menanyakan perkembangnan sekolah atau kuliahnya. Semua berlalu begitu saja. Diterima sebagai apa adanya, tanpa pernah ingin bertanya. Ada apa dengan keluarganya?

Seperti juga Kevin, Sheila, Venus dan anak-anak lainnya yang berhasil keluar dari pengalaman traumatik dalam keluarga, ia memilih untuk melanjutkan hidup. Separah apapun kondisi keluarganya.

“Mbak, tapi saya tidak menyesal lahir dan besar sebagai anggota “Kartu Keluarga”,nyatanya saya baik-baik saja sampai hari ini. “

 

 


*) Based on true story, berdasarkan pengalaman Torey Hayden mengajarkan anak-anak yang berkebutuhan khusus.

3 komentar:

  1. Kata "keluarga" yang sederhana ternyata membutuhkan banyak kata untuk menjelaskannya ya teh. Ikut prihatin dengan anak, ayah atau ibu yang tidak bertumbuh dengan baik di keluarganya. Meski yang oaling banyak menderita adalah anak. aku berharap keluarga menjadi wadah yang paling nyaman dan aman utk semua orang.

    BalasHapus
  2. Ya kak. Setidaknya bahagia itu tidak mesti identik dengan keluarga kandung.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar banget kak. Rumahpun tidak selalu dalam bentuk rumah berdinding beton.

      Keluarga tercipta bisa di mana aja. Kalau menurutku yang menerima kita apa adanya. πŸ˜πŸ˜‰

      Hapus