“Harapan? Sudah
lama dia menjauh dari hidupku…”
Mari berharap. Merangkai harapan. Memujudkan harapan. Walau tidak ada yang tahu pasti, apa yang akan terjadi kelak, bukan berarti kita putus harapan.
Justru karena kita tidak tahu. Bagaimana kalau
kita menyusun berbagai harapan. Tentang kehidupan pribadi, karir, untuk alasan
religi atau apapun itu. Tentunya dalam konteks positif. Sehingga hidup tidak sekedar putaran hari dari
pagi ke malam. Atau malam ke pagi hari.
Coba di ingat-ingat kembali. Bukan harapan yang menjauh. Namun kita yang
menjauhkan diri dari harapan. Mengapa? Mungkin karena berkali-kali gagal untuk
mewujudkannya. Frustasi dan nerveos sehingga sang ‘harapan’ kita persalahkan
dengan berbagai alasan. Mungkin juga
karena kita juga tidak tahu persis apa yang kita niatkan pada harapan tersebut.
Pernah?
Apa yang Anda lakukan atas dasar niat yang baik didasari pengharapan memiliki banyak deposito kebaikan, kendati tampak ‘nothing’, padahal
sesungguhnya Anda telah melakukan ‘something.’
~Miftahur Rahman El Banjary
“Harapan siapa? Bukan aku !”
Selain itu, kerap kita mendengar bahwa orang-orang terdekatlah mempunyai
harapan-harapan tertentu lewat diri kita. Atau meletakkan harapan di pundak, dengan
atau tanpa tanpa ‘persetujuan’ kita. Meskipun itu, katanya. Demi kebaikan kita. Sehingga harapan menjelma menjadi beban tersendiri
yang _bisa jadi_ membuat kita tidak
nyaman. Eksistensi diri kita tergantung penilaian orang lain. Pernah?
Alih-alih ‘mengasingkan’ harapan yang terlanjur tersampir di pundak
kita. Bagaimana kalau kita mengurai harapan tersebut. Menelisik kemungkinan realisasinya.
Apa yang mungkin. Mana yang masih
mungkin. Lalu adakah yang tidak mungkin. Jika kita memilih ‘berdamai’ dengan
harapan; maka bukan tidak mungkin akan
muncul ide-ide cemerlang untuk mewujudkannya. Sejatinya mewujudkan suatu
harapan adalah salah satu jalan menuju kebahagiaan.
Manusia menjadi bahagia dengan mengetahui bagaimana cara memanfaatkan
beragam kemampuannya untuk secara aktif mengalami dirinya sendiri di dunia. Kebahagiian
manusia terletak di dalam cintanya akan hidup, dan itu adalah sesuatu yang
sangat aktif…
~Erich Fromm
Jikapun misalnya, gagal mewujudkan harapan tersebut, jangan menyesal.
Setidaknya kita sudah berusaha secara signifikan.
Jadi, teruslah melanjutkan hidup dengan mewujudkan harapan yang lain lagi. Jangan
berhenti atau membatasi diri di satu harapan tertentu saja. Yang tidak kalah
penting, jangan sampai usaha mewujudkan suatu harapan membuat kita kehilangan
jati diri. Jangan sampai kita merasa asing dengan diri sendiri.
“Harapan? Itu Aku!”
Mungkin kesuksesan sudah menjadi nama tengah kita. Orang terkagum-kagum,
dengan usaha kita mencapai impian dengan gigih. Kata ‘harapan’ bukan sekedar
angan-angan yang ‘jauh api dari panggang.’
Namun bisa jadi ada sebagian orang yang memandang dengan sebelah mata
kesuksesan kita di hari ini. Jatuh bangunnya kita mewujudkan harapan tidak
mereka pedulikan. Pernah?
Pro dan kontra akan terus ada. Sekarang tergantung bagaimana kita. Mau
menanggapi satu persatu sampai kelelahan sendiri atau sebaliknya. Nyatanya,
tidak ada kewajiban kita untuk memberi penjelasan yang memuaskan ego meraka
semua. Namun kita ‘wajib’ menyongsong kesuksesan berikutnya dari harapan kita
selanjutnya.
Mari menghargai harapan dan usaha kita mencapai sejumlah harapan. Tanpa tergantung
dari ada tidaknya penghargaan orang lain
dari usaha kita tersebut.
Aku belajar bagaimana menyatukan sesuatu dengan
melihat impian – impian itu bagian demi bagian. Bagaimana menghargai setiap
perkembangan dan kenyamanan sekecil apapun…aku memimpikan harapan-harapan baru
dan mulai membangun.
~Liah Kraft-Kristaine
Cuma bisa membaca sampai akhir dan menyetujui satu persatu tulisan ini. Harapan harus selalu ada. 💪
BalasHapus