Jumat, 30 Oktober 2020
Second Chance
Kamis, 29 Oktober 2020
Five Star
Rabu, 28 Oktober 2020
Nature Sign....
Selasa, 27 Oktober 2020
Whateverything
Senin, 26 Oktober 2020
Life is a Gift
Minggu, 25 Oktober 2020
The Fact of No Comment
“Mengapa diam? ayo
jawab!”
Diam adalah juga salah satu cara untuk menjawab. Jawaban bersifat non
verbal. Jawaban yang ditunjukkan dengan menunjukkan sikap/simbol tertentu. Jadi
‘tidak salah’ jika orang memberikan jawaban dengan : diam tanpa berkata-kata.
Hanya saja , kita terbiasa dengan jawaban yang verbal. Menjawab secara verbal saja dapat menimbulkan perbedaan
tafsir. Apalagi jawaban dalam bentuk diam. Belum tentu “pesan” dari diam tersebut
dapat dimengerti oleh orang yang bertanya. Sehingga, jawaban dalam bentuk diam
membuat lawan bicara penasaran, kesal bahkan emosional.
Mungkin kita pernah ada di posisi yang hanya bisa menjawab dengan diam.
Atau pernah juga, ketika kita bertanya, orang tersebut diam tanpa kata-kata.
Misalnya hanya diam menunduk, diam sambil menghela nafas atau diam lalu pergi meninggalkan
kita.
“Aku sudah menjawab, dengan diam…”
Lalu mengapa jawaban ‘diam’ yang dipilih? Mungkin karena
terlalu sulit untuk dijawab. Mungkin juga karena tidak tahu jawaban. Atau bisa jadi karena jawabannya
terkait fakta yang mengganggu pikiran,
tidak nyaman, traumatis atau bisa jadi karena tidak ada alasan untuk menjawab.
Atau bahkan karena manganggap tidak ada gunanya menjawab pertanyaan tersebut.
Bisa juga disebabkan karena belum saatnya pertanyaan tersebut di jawab. Namun
yang menyebalkan adalah jika lawan bicara kita diam tidak menjawab, karena memang
tidak mendengarkan pertanyaan kita.
Yang menjadi concern kita adalah, saat “sumber”
fakta memilih bungkam atau ‘no comment’. Hal tersebut sering kali menimbulkan persepsi
yang keliru atas kebenaran suatu fakta. Pilihan untuk tidak menjawab alias diam
bukan tanpa resiko. Rasa ingin tahu orang lain sering kali menimbulkan isue
yang berkembang secara liar jauh dari fakta yang sebenarnya.
“Biar saja, waktu yang akan menjawab…”
Diakuai ataupun tidak. Sering
kali kita begitu -penasaran- mau tahu fakta sebenarnya. Entah untuk tujuan apa.
Bisa jadi sekedar ingin tahu. Atau untuk memuaskan rasa penasaran. Atau, bisa
jadi sebagai tanda empati kita pada orang tersebut. Padahal orang yang mengalaminya, mungkin belum siap secara psikis, jika harus
menjawab pertanyaan kita.
Pernahkah kita menyadari, bahwa mengungkapkan suatu fakta justru
menimbulkan ketidaknyamanan yang luar
biasa dari sisi yang mengalami? Apalagi jika fakta tersebut adalah tentang hal
yang sangat menyakitkan. Atau fakta yang menyudutkan dirinya, sehingga sulit
untuk menjawab dengan apa adanya. Mulai saat ini. Semoga, kita menjadi lebih mengerti,
mengapa kadang pengungkapan suatu fakta
dengan cara hanya menyebutkan inisial :
nama, lokasi dan waktu kejadiannya.
Diam adalah juga simbol untuk jawaban. Seperti permohonan untuk
memberikan waktu dan ruang pribadi atas suatu fakta yang terjadi pada orang tersebut.
Bisa juga sebagai pengantar pesan bahwa belum saatnya untuk mengungkapkan suatu
fakta. Atau memang fakta tersebut sangat private dan confidential.
Jadi, bagaimana kalau: mari kita menghargai pilihan orang untuk menjawab suatu
fakta dengan ‘diam.’ Sepanjang tidak ada norma apapun yang dilanggar. Atau
mengapa tidak kita biarkan saja fakta selengkapnya cukup diketahui oleh
pihak-pihak yang lebih berkompeten. Bukankah kita perlu concern dengan fakta kesibukan kita yang kadang dikejar deadline?
Sabtu, 24 Oktober 2020
The Magic of Champions League
Selain gelaran Piala Dunia dan Piala Eropa per empat tahunan, Liga Champions termasuk turneman sepak bola yang tak kalah menarik perhatian. Liga Champions merupakan laga tahunan sepak bola antar klub terbaik_ paling bergengsi di Eropa.
Liga antar beberapa peringkat terbaik klub-klub di Eropa tersebut mempunyai daya tarik di level tertinggi. Orang seperti tersihir mengikuti laga dan berita apapun terkait Liga Champions.
“Sihir”
Liga Champions tidak hanya diminati seantero Eropa namun juga diberbagai belahan
dunia lainnya.
Banyak hal yang mendasarinya. Seperti kualitas permainan yang menjanjikan. Setiap tahapan laga yang kompetitif. Dimana team-team pemuncak di liga masing-masing negara, tidak menjadi jaminan akan melenggang dengan mudah di setiap pertandingan.
Kita
selalu menantikan kejutan -apalagi- di setiap laga, atau tahapan pertandingan.
Walaupun secara umum, yang meraih tropi adalah teaam-team langganan juara Liga
Champion. Seperti tahun 2019-2020 yang dimenangkan oleh Bayern Muenchen.
Demikian
menariknya bertanding di kasta tertinggi turnamen sepakbola antar klub tersebut, sehingga kerap menjadi pertimbangan penting yang mendasari keputusan pemain maupun pelatih untuk pindah klub. Demikian
juga kebijakan klub. Mereka mencari strategi terbaik agar dapat berkompetisi di
liga tersebut, apalagi jika menjadi sang juara.
Persiapan
di mulai bahkan sebelum kompetisi antar klub di suatu negara berakhir. Manager
Team Chelsea, Frank Lampard misalnya. menjelang
akhir kompetisi Liga Primier Inggris saja sudah menyusun rencana rekruit
pemain, antara lain dengan pertimbangan kompetisi Liga Champions 2020-2021.
Pada
bulan Juli tersebut, Chelsea ada di urutan ke 3 Liga Premier Inggris yang masih
menyisakan beberapa laga. Jika klasemen
finis di urutan ketiga berarti peluang mereka berlaga di Liga Champion terbuka
lebar. Dan sebagai peserta Liga Champions tahun 2020-2021, maka hal tersebut kepada menjadi daya
tarik tersendiri / advantage bagi klub untuk menarik peman incaran mereka.
Strategi merekruit pemain bukan hanya mengamankan klasemen pada turnamen lokal serta pencapaian tertinggi di Liga champion tahun tersebut. Namun juga untuk dapat tembus Liga Champion tahun berikutnya. Agar bisa bersaing di level tertinggi adalah suatu keharusan untuk mendapatkan pemain dari level tertinggi pula. Berikutnya?
Uang
!
Ya, dengan mengikuti kompetisi bergengsi di level Liga Champion, selain membanggakan klub. Juga berarti peluang ‘ make money’.
Luar
biasa pentingnya berkompetisi di level
setinggi Liga Champions. Maka bisa dibayangkan
bagaimana signifikannya usaha perlawanan yang dilakukan oleh Manchester City,
ketika dijatuhi hukuman larangan tampil di kompetisi antar klub Eropa selama dua tahun terhitung
sejak Februari 2020. Hal tersebut terkait tuduhan bahwa Manchester City memanipulasi pendapatan
dari sponsor sejak tahun 2012-2016.
Padahal
dengan tampil di Liga Champions akan menambah pundi – pundi nominal. Baik dari
sponsor, hak siar maupun penjualan tiket, dll. Untunglah pada sidang banding di Pengadilan arbitrase olahraga (CAS) pada
Juni lalu, tuduhan terdebut dapat dipatahkan. Artinya, Manchaster City diizinkan
kembali bertanding di Liga kancah Eropa,
dalam hal ini Liga Chamipons . Jika tidak, maka pemain-pemain
terbaik mereka seperti Kevin De Bruyne, Gabriel Jesus menjadi incaran team
Eropa lainnya.
Pendapat sedikit berbeda disampaikan oleh manager Manchester United, Ole Gunnar Solskjaer. Ia mengakui bahwa Liga Champions memiliki arti penting bagi klubnya. Namun MU tak bergabung dengan ajang tersebut untuk mendatangkan pemain top incarannya ke Old Trafford.
Jumat, 23 Oktober 2020
The Celebrity Crush : Totalitarian
“Kak, kapan datang? Aku mau cerita…”
Pesan lewat WA darinya telah aku terima. Aku membacanya secara sepintas.
Aku pikir, lebih baik menjauh. Kenapa ? Karena, menurut aku, tidak ada hal menarik yang akan ia disampaikan. Tanpa
membuang waktu, harusnya aku segera menghapus pesan tersebut. Tapi tidak jadi…
Dengan menghela nafas panjang, aku terduduk. Menghentikan langkah.
Membiarkan ingatanku mengembara sampai ke beberapa tahun lalu. Ketika anak muda
itu menceritakan keputusasaan maupun kekecewaannya kepada banyak orang. Baik
itu, keluarga, para kerabat, lingkungan tinggal, komunitas bahkan dunia profesionalnya.
Sampai ia mengalami kritis penguasaan atas diri sendiri.
Selain itu, ia menjadi sangat tidak mudah untuk mempercayai orang lain.
Bahkan pasangan atau orang-orang terdekat lainnya. Krisis psikis yang ia alami
begitu hebat. Ia lantas menarik diri atau
membatasi komunikasi verbal.
Entah bagaimana asal mulanya. Karena aku juga enggan bertanya. Ia memilih
berkomunikasi intens dengan berbagai karakter boneka. Walaupun boneka-boneka tersebut tetap diam
membisu. Dia sangat memujanya. Seperti penggemar fanatik / garis keras pada celebrity atau pesohor.
Dalam setiap pertemuan kami, dengan sangat antusias, ia akan
menceritakan tingkah polah boneka-bonekanya tersebut. Termasuk bagaimana
perkembangannya. Bahkan dia berjanji akan mengawal proses tersebut dengan
sepenuh hati. Ia melakukan semua itu, selayaknya
orang tua nyata dari sejumlah boneka. Bahkan dia berjanji akan mengawal proses tersebut
dengan sepenuh hati. Menjaganya sepenuh jiwa dan raga. Walaupun statusnya sebagai orang tua tunggal.
Ia terlihat sangat bahagia ketika mengatakan bahwa Boneka Kongsuni dan Konsini,
berjanji akan terus bersamanya dalam suka dan duka. Sehingga iapun berjanji
akan menjaga mereka jika ada yang mengusik. Aku jadi teringat japriannya
beberapa hari lalu :
“Kak, kapan datang? Mereka kesepian…”
Rupanya ia meminta tolong, untuk sementara waktu dapat mengambil alih
perawatan Kongsuni dan Konsini. Jangan
sampai ada yang mengganggu mereka atau bikin mereka sedih. Ia terlihat dan
mengakui mengalami resah harus meninggalkan semua bonekanya.
Begitu pentingnya boneka-boneka tersebut, sampai ia tidak peduli nucapan
sinis oarang lain yang menuduhnya mengalami Celebrity Crush Syndrom.
Juga tak peduli ketika mendengarkan ucapan bahwa ia memiliki kehaluan obsesif ayng aneh terhadap boneka.
Di lain waktu, dengan mengirimkan emotion sedih via WA dia menceritakan
bahwa boneka – boneka kesayangan tampak pucat dan bersedih karena ditinggal beberapa
hari untuk tugas ke luar kota. Di tempat tugas iapun resah & khawatir. Mereka
saling rindu, hingga sulit melanjutkan aktivitas dengan sebaik mungkin.
Pic: by Lulu
“ Kak, kapan datang? Gawat ini !…”
Saat tiba di depan rumah, aku menemukan ia sedang menangis histeris,
sambil memeluk boneka kesayangan. Katanya, ia baru saja bermimpi bahwa ada sekelompok orang yang
menculik boneka-boneka tersebut. Sedangkan ia tidak bisa berbuat aapa-apa.
Sehingga ia sangat menyesal.
Apalagi diakhir mimpi, para penculik mengembalikan boneka kepada sang pemilik. Namun sudah tidak utuh.
Ia sedemikian berdukanya sampai sempat terucap ingin mengakhiri hidup daripada
berpisah dengan boneka-boneka tersebut. Sangat dramatis ! Padahal , mimpi!
Kamis, 22 Oktober 2020
No Title !
“Jangan emosi!”
Jika mendengar seruan tersebut, maka biasanya kita menginterpretasikan kata 'emosi' sebagai kemarahan. Benarkah seperti itu? Tidak sepenuhnya benar atau salah.
Namun
dapat kita memahami asumsi tersebut. Mengingat kemarahan merupakan salah satu bentuk dari emosi yang paling sering terjadi. Walau bukan satu-satunya. Janganlah hal emosi dijadikan
sebagai alasan pembenaran atas suatu tindakan kita. Meskipun hal tersebut adalah reaksi wajar atas -aksi dari
seseorang atau- sesuatu yang mengusik kita.
Emosi itu sendiri dimaknai sebagai perasaan mendalam yang ditujukan terhadap sesuatu. Atau kepada seseorang (bahkan diri sendiri).
Emosi biasanya diidentikkan sebagai kemarahan, rasa sedih, kecewa, ketakutan dan sejenisnya.
Hal tersebut termasuk ‘emosi negatif.’ Sedangkan ‘emosi positif’ berkenaan
dengan kebahagiaan atau rasa senang.
Apapun itu, diharapkan kita mampu menyeimbangkan reaksi emosional kita. Terutama atas kemungkinan dampak selanjutnya. Jangan Sampai kita menyesal di kemudian hari.
Setiap manusia, secara alamiah dibekali berbagai
reaksi emosi. Tinggal bagaimana kita menempatkan emosi tersebut pada kondisi
yang tepat. Agar tidak salah langkah. Sehingga tidak menimbulkan masalah berikutnya.
“Terlanjur Emosional”
Sejatinya, intuisi di dalam diri ‘mengarahkan’ emosi kita di jalur kebahagiaan, kenyamanan, keteraturan
dan hal-hal sejenisnya. Setidaknya, mengusahakan suatu adaptasi atas gangguan
terhadap hal tersebut. Seringkali kemampuan tersebut dikaitkan dengan tingkat
kedewasaan seseorang dalam kehidupan sosial.
Adaptasi kita -dengan menempatkan suatu bentuk emosi secara tepat, berlangsung seumur hidup. Berbagai ikhtiar kita pikirkan. Lalu kita lakukan, demi mencapai keseimbangan baru terhadap berbagai kondisi yang dapat memantik ketidakseimbangan atas emosi kita tersebut.
"Emosional Healing"
Namun bagaimana, jika kita termasuk individual yang mudah terpancing emosi.
Terlanjur emosional? Mungkin di tahap ini, kita membutuhkan ‘emotional healing.’
Baik kita lakukan secara personal maupun dengan bantuan profesional.
Ya! Jangan mengelak untuk mengakui, bahwa terkadang kita tidak dapat menguasai emosi. Sehingga dapat merugikan diri kita sendiri. Bahkan orang lain.
Dengan menjalani ‘emotional healing’ diharapkan kita mampu menyeimbangkangkan
aksi maupun reaksi berbagai bentuk emosi. Sebagian atau seluruhnya. Pada waktu dan situasi yang tepat.
Sebagai salah satu alternatif terapi, ‘emotional healing’ dapat
meningkatkan kualitas kehidupan. Mengapa? Karena kita jadi lebih mengenal diri sendiri (terkait dengan emosi). Termasuk bagaimana kemampuan untuk mengendalikannya. Dengan demikian diharapkan tidak mengganggu
keseimbangan psikis kita secara umum.
Say "Yes" to Hope
“Harapan? Sudah
lama dia menjauh dari hidupku…”
Mari berharap. Merangkai harapan. Memujudkan harapan. Walau tidak ada yang tahu pasti, apa yang akan terjadi kelak, bukan berarti kita putus harapan.
Justru karena kita tidak tahu. Bagaimana kalau
kita menyusun berbagai harapan. Tentang kehidupan pribadi, karir, untuk alasan
religi atau apapun itu. Tentunya dalam konteks positif. Sehingga hidup tidak sekedar putaran hari dari
pagi ke malam. Atau malam ke pagi hari.
Coba di ingat-ingat kembali. Bukan harapan yang menjauh. Namun kita yang
menjauhkan diri dari harapan. Mengapa? Mungkin karena berkali-kali gagal untuk
mewujudkannya. Frustasi dan nerveos sehingga sang ‘harapan’ kita persalahkan
dengan berbagai alasan. Mungkin juga
karena kita juga tidak tahu persis apa yang kita niatkan pada harapan tersebut.
Pernah?
Apa yang Anda lakukan atas dasar niat yang baik didasari pengharapan memiliki banyak deposito kebaikan, kendati tampak ‘nothing’, padahal
sesungguhnya Anda telah melakukan ‘something.’
~Miftahur Rahman El Banjary
“Harapan siapa? Bukan aku !”
Selain itu, kerap kita mendengar bahwa orang-orang terdekatlah mempunyai
harapan-harapan tertentu lewat diri kita. Atau meletakkan harapan di pundak, dengan
atau tanpa tanpa ‘persetujuan’ kita. Meskipun itu, katanya. Demi kebaikan kita. Sehingga harapan menjelma menjadi beban tersendiri
yang _bisa jadi_ membuat kita tidak
nyaman. Eksistensi diri kita tergantung penilaian orang lain. Pernah?
Alih-alih ‘mengasingkan’ harapan yang terlanjur tersampir di pundak
kita. Bagaimana kalau kita mengurai harapan tersebut. Menelisik kemungkinan realisasinya.
Apa yang mungkin. Mana yang masih
mungkin. Lalu adakah yang tidak mungkin. Jika kita memilih ‘berdamai’ dengan
harapan; maka bukan tidak mungkin akan
muncul ide-ide cemerlang untuk mewujudkannya. Sejatinya mewujudkan suatu
harapan adalah salah satu jalan menuju kebahagiaan.
Manusia menjadi bahagia dengan mengetahui bagaimana cara memanfaatkan
beragam kemampuannya untuk secara aktif mengalami dirinya sendiri di dunia. Kebahagiian
manusia terletak di dalam cintanya akan hidup, dan itu adalah sesuatu yang
sangat aktif…
~Erich Fromm
Jikapun misalnya, gagal mewujudkan harapan tersebut, jangan menyesal.
Setidaknya kita sudah berusaha secara signifikan.
Jadi, teruslah melanjutkan hidup dengan mewujudkan harapan yang lain lagi. Jangan
berhenti atau membatasi diri di satu harapan tertentu saja. Yang tidak kalah
penting, jangan sampai usaha mewujudkan suatu harapan membuat kita kehilangan
jati diri. Jangan sampai kita merasa asing dengan diri sendiri.
“Harapan? Itu Aku!”
Mungkin kesuksesan sudah menjadi nama tengah kita. Orang terkagum-kagum,
dengan usaha kita mencapai impian dengan gigih. Kata ‘harapan’ bukan sekedar
angan-angan yang ‘jauh api dari panggang.’
Namun bisa jadi ada sebagian orang yang memandang dengan sebelah mata
kesuksesan kita di hari ini. Jatuh bangunnya kita mewujudkan harapan tidak
mereka pedulikan. Pernah?
Pro dan kontra akan terus ada. Sekarang tergantung bagaimana kita. Mau
menanggapi satu persatu sampai kelelahan sendiri atau sebaliknya. Nyatanya,
tidak ada kewajiban kita untuk memberi penjelasan yang memuaskan ego meraka
semua. Namun kita ‘wajib’ menyongsong kesuksesan berikutnya dari harapan kita
selanjutnya.
Mari menghargai harapan dan usaha kita mencapai sejumlah harapan. Tanpa tergantung
dari ada tidaknya penghargaan orang lain
dari usaha kita tersebut.
Aku belajar bagaimana menyatukan sesuatu dengan
melihat impian – impian itu bagian demi bagian. Bagaimana menghargai setiap
perkembangan dan kenyamanan sekecil apapun…aku memimpikan harapan-harapan baru
dan mulai membangun.
~Liah Kraft-Kristaine
Rabu, 21 Oktober 2020
Der Kaiser
Tanpa disadari. Atau bahkan sangat disadari. Kita adalah makhluk yang senang ‘meniru’. Dalam konteks negatif maupun positif. Tentunya ‘meniru’ dengan konotasi negatif, hendaknya kita hindari. Seperti meniru karya hak cipta orang lain. Termasuk meniru dengan tujuan menyamarkan, mengambil keuntungan dengan cara tidak sah atau tujuan tidak elok lainnya.
Namun meniru tekad pantang menyerah seorang yang menjadi panutan kita, silahkan
saja. Tidak jarang, sosok panutan yang
menginspirasi kita adalah orang-orang terdekat. Seperti orang tua kita sendiri.
Mengapa? Karena kita menyaksikan langsung bagimana ikhtiar mereka menghadapi
dinamika hidup. Berjuang tanpa lelah agar kehidupan kita, anak-anaknya, punya
kehidupan lebih baik dari mereka.
Lalu bagaimana kehidupan mereka yang tidak mempunyai sosok yang
menginspirasi? Atau pertanyaan mendasarnya adalah seberapa penting sosok
menginspirasi dalam keseharian kita? Mungkinkan sosok tersebut ada beberapa? Pernahkah,
kita berganti-ganti mengagumi sosok yang inspiratif? Dst…dst.
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas hanya satu : up to you!
Kita tidak dalam koridor tentang benar salah. Mengingat begitu banyak
pilihan maupun kombinasinya. Yang penting ada atau tidak sosok inspiratif, hidup
kita di koridor yang normatif. Dalam artian tidak ada norma yang kita langgar.
Atau tidak obsesif terhadap orang yang menjadi inspirasi kita.
Nyatanya jika kita bertanya kepada tokoh-tokoh yang sukses di bidangnya
masing-masing: siapa sosok inspiratif
dibalik kesuksesannya tersebut? Nyaris mereka menyebutkan satu atau dua nama dengan
penuh kekaguman. Jawaban yang dapat dimengerti. Karena kita ingin tahu ada apa dan sipa dibalik kehebatan mereka. Ada orang hebat dibalik orang hebat. Baik itu
berperan secara langsung maupun tidak langsung.
Mungkin, dengan belajar dari pola pikir atau jejak rekam kesuksesan sang
tokoh, kita dapat menerapkannya -dengan
berbagai penyesuaian- agar menjalani kehidupan / mencapai kesuksesan yang lebih
baik dari tokoh inspiratif tersebut. Kita termotivasi dan seperti punya arahan
dan ukuran tertentu.
Hal yang menginspirasi tidak terbatas pada kesuksesan materi, karir,
bisnis atau prestasi lainnya. Namun bisa saja hal yang menginspirasi seperti
passion mereka kepada suatu hal. Misalnya aktivitas kemanusiaan. Seperti yang ditunjukkan Bunda Theresia.
Walaupun sudah lama tiada, tetap menjadi sosok yang menginspirasi banyak orang,
termasuk orang-orang yang belum/tidak akan pernah bertemu langsung dengannya.
Pertanyaan berikutnya adalah,
mengapa orang-orang tertentu menjadi inspiring
man untuk banyak orang lainnya? Bahkan lintas negara. Jawaban paling umum
adalah karena mereka mempunyai kepribadian kuat. Dalam berbagai kondisi. Disaat
jaya maupun ketika ditempa kegagalan. Cepat bangkit menapaki kesuksesan
berikutnya. Daripada sia-sia menghabiskan waktu mempertanyakan kegagalan
sebelumnya.
Untuk dapat bangkit dengan tidak mengulangi kegagalan yang sama, mereka membekali diri ( dan team ) wawasan, skill dan pengetahuan yang ‘tidak terbatas’, selalu bersiap untuk perubahan termasuk ketidaknyamanan pada saat beradaptasi dengan hal baru /perubahan.
Dengan bekal seperti tersebut, mereka melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh.
Penuh percaya diri dan yakin akan hasil dari semuam proses yang dialui. Sesulit
apapun itu.
Lalu saya teringat sosok yang sangat menginspirasi. Dia adalah Ketua Panitia Piala Dunia 2006 yang diselenggarakan di Jerman.
Sebelumnya, pada tahun1974 & 1990 dia sukses membawa negaranya, menjadi juara Piala Dunia. Anda pasti tahu siapa yang
saya maksud.
Selasa, 20 Oktober 2020
Yesterday, Today & Tomorrow
“Every
great dreams begins with a dreamer. Always remember, you have within you the
strenght, the patience, and the passion to reach for the stars to change the
world.”
By Harriet Tubman
Dear kamu,
Maaf. Setelah
101 purnama, baru hari ini aku dapat menyampaikan alasan sesungguhnya mengapa
aku menjauh dari kamu. Pada saat itu. Namun kamu tidak pernah sungguh-sungguh jauh dari
hidupku. Kamu selalu menemukan dimanapun aku berada. Kamu selalu ada alasan
untuk menemui aku. Sia-sia semua dalih yang aku sampaikan untuk menjauh dari kamu. Walau
kamu terus bertanya, aku terus menghindar untuk menjawab hal alasan.
Your Great Dreams
Untuk sebagian orang, mimpi-mimpi besar kamu itu
aneh. Aku satu di antaranya. Semakin kamu menceritakan mimpi besarmu, termasuk
pencapaiannya andai kita bersama. Semakin aku merasa tertinggal. Aku tak ingin
mendebat impianmu. Walau sesungguhnya, aku setengah hati mendukungmu.
Aku memilih diam. Hanya mendengarkan semua detail
rencana dirimu untuk mencapainya. Aku hanya mendoakan semoga cita-citamu
tercapai. Aku tahu, kau mencoba menyelaraskan impian masa depanmu dan impian
masa depanku. Tapi yang kulihat, saat itu. Tidak mungkin.
Hari ini kita bertemu. Dengan antusias kamu menceritakan
bagaimana perjuanganmu mencapai impian tersebut. Bagaimana kamu jatuh bangun
untuk sampai di posisi sekarang tanpa dukungan yang berarti dari orang-orang
terdekat kamu. Atau bagaimana kamu merasa sendiri, dipinggirkan bahkan
dicurangi oleh sejawat yang tidak suka dengan signifnikannya usaha kamu selama
ini.
Seperti biasanya, kamu selalu sabar mendengarkan
apapun yang aku sampaikan. Termasuk, alasan usahaku menjauh dari kamu. Aku kembali
diam, ketika kamu bilang bahwa mengapa alasan tersebut tidak aku sampaikan saat
itu. Andai ia tahu dari awal, dia akan berkompromi dengan kondisi inferior-nya
aku.
Your Work Life
“If you love your work, you’ll be out there
everyday trying to do it the best you possible can, and pretty soon ever-body
around will catch the passion from you-like a fever.”
By T.D. Jakes
Lalu, tanpa aku bertanya terlebih dahulu, kamu
menyampaikan alasan mengapa waktu itu kamu seolah tidak memperjuangkan hubungan
kita ke arah yang lebih serius. Katamu atau yang terlihat oleh kamu, aku terlalu
asik dengan dunia kerja dibandingkan dengan memperjuangan dunia untuk kita
berdua. Kamu bilang, aku begitu antusias bercerita tentang pekerjaan.
Seolah-olah, ia menjadi nomor
kesekiannya aku.
Kamu jadi berfikir, aku bukan pasangan yang pas
untuk mendampingi kamu meraih mimpi-mimpi besarnya. Kamu kecewa tapi tidak
ingin memaksa aku mendampingi kamu. Walau begitu, banyak hal dari kebersamaan kita
yang tidak ingin kamu lepaskan begitu saja. Sehingga kamu tetap berusaha ada di
dekat aku. Memastikan bahwa kita tetap menjalin komunikasi tanpa friksi apapun.
Maaf aku baru tahu. Bahwa kamu sempat sakit. Fisik
& psikis ketika menyadari bahwa kita
tak mungkin jalan bersama sebagai pasangan. Hari ini kamu baru cerita, bahwa saat
itu kamu sudah sangat berusaha mengenal siapa aku. Baik itu hobby, kebiasaan
sehari-hari, apa saja favoritku. Berusaha beradaptasi dengan budaya leluhur
aku. Menerima aku apa adanya. Serta berkompromi dengan perbedaan-perbedaan di
antara kita.
Rupanya, saat itu kita sibuk dengan pikiran kita
masing-masing. Menyesal ? Tidak ! Itu
Aku. Namun ternyata kamu berbeda, bertahun-tahun kamu pendam kekecewaan atas
sikap dan keputusanku.
Your Background
Dear Kamu,
Selain mimpi-mimpi unikmu yang tidak pernah bisa
aku mengerti. Ada hal lain yang mengganggu pikiranku saat kita bersama. Your background
so complicated.
Jika kamu berusaha, memahami backround aku. Termasuk adat
istiadat kami yang ketat. Tidak demikian dengan aku. Background dirimu, baik dari
segi sosial, budaya, keluarga, pendidikan dan sebagainya sungguh seperti benang
kusut. Walaupun kamu bilang, jangan diambil pusing. Yang penting bagaimana kita
menjalaninya. Namun, semakin banyak informasi mengenai latar belakang kamu, aku
semakin gelisah. Semakin ada alasan untuk menjauh dari kamu.
Tentang alasan yang kedua ini, aku tidak nyaman untuk
menyampaikannya langsung kepada kamu di hari ini . Suatu hari, mungkin kita
akan saling bertukar cerita. Semoga pada saat itu, tidak ada lagi kecewa, luka
maupun gelisah di antara kita. Kita telah memilih koridor yang berbeda. Biarkan
seperti itu. Tetap begitu.
“We way run, walk, stumble drive, or fly, but
let us never lose sight of the reason for the journey, or miss a chance to see
a rainbow in the way.”
By Gloria Gaiter