Selasa, 30 November 2021

Started Because...


“Suka Membaca?”

Walaupun sudah terlalu sering mendengar pertanyaan di atas, saya tidak pernah merasa bosan untuk menjawabnya. Pertanyaan dengan dua kata tersebut, dengan sangat antusias akan saya jawab secara panjang lebar.  Tanpa menghiraukan, apakah sang penanya benar-benar tertarik dengan alasan saya gemar membaca atau sekedar mengisi percakapan. Jadi begini…

Ya ! Saya sungguh sangat suka membaca. Bahkan sebelum masuk SD. Masih segar diingatan. Saat itu, sebelum berangkat kerja, biasanya ayah kami membaca koran terlebih dahulu. Melihat hal tersebut,  sayapun segera duduk di sebelahnya. Bersiap mendengarkan beliau membaca beberapa artikel di harian pagi langganan kami tersebut atau saya menunjuk satu berita untuk dibacakan.

Mengingat kami mempunyai kegemaran yang sama, yaitu sepak bola ( ini juga jawaban atas pertanyaan bagaimana saya sampai ‘keracunan’ sepak bola ). Maka, artikel itulah yang sering kali saya minta ayah  bacakan untuk saya.  Saat beliau membaca, saya asik mendengarkan sambil  bola mata saya bolak-balik melirik artikel yang beliau baca tersebut. Intonasi dan cara ayah membacanya membuat Tuty kecil ingin segara bisa membaca juga.

Entah bagaimana. Begitu kuat dorongan saya untuk bisa membaca. Otak kanak-kanak saya  cepat  menghafalkan apa yang beliau bacakan dengan karakter-karakter (huruf) tertentu . Cara beliau membaca kata-perkata dengan intonasi yang menarik,  sungguh membantu saya belajar membaca dalam waktu cukup singkat. Dengan cara saya sendiri.

Jadi, ketika masuk SD ( saya tidak tertarik masuk TK ), sudah cukup lancar membaca. Walaupun baru faham, bahwa karakter-karakter yang saya hafalkan tersebut disebut alphabeth. Nah,  Kesukaan saya terhadap membaca tersebut, berpengaruh dengan kemampuan motorik halus saya, dalam hal ini : menulis dengan baik. Di tahun pertama SD, pelajaran menulis tidak terlalu menarik untuk saya.  Untungnya, saya cepat menyadari bahwa yang namanya sekolah itu tidak hanya berisi pelajaran membaca. Walaupun sampai, lulus SD. Semua wali kelas memberikan pesan yang sama. Perbaiki tulisan !!

 

“Suka Menulis?”

Jika dikaitkan dengan konteks  menulis -yang  membuat orang lain kesulitan membaca tulisan saya,  ingin rasanya memjawabnya dengan pertanyaan seperti, bisakah pertanyaannya diganti?  Namun, jika tulisan di kaitkan dengan contain. Saya pasti akan menjawab bahwa saya suka. Walaupun dengan kemampuan menulis yang sangat terbatas. Pun sampai saat ini.

Jadi, saya berterimakasih kepada teknologi, seperti komputer maupun HP. Mereka ‘menyelamatkan’ saya dari effort keras menulis tangan. Saya juga sangat berterimakasih kepada beberapa guru SMA saya, yang kerap memberi appreciate atas isi tulisan saya. Seorang diantaranya bahkan menganjurkan saya kuliah di  bidang penulisan seperti jurnalistik. Katanya, saya mempunyai bakat menjadi penulis (padahal saat itu ingin jadi ahli botani ). Walaupun seperti tak menghiraukan saran tersebut, sesungguhnya sejak itu saya rajin menulis. Namun untuk dibaca sendiri.

Sampai suatu hari saya masuk komunitas BPJ. Semula saya pikir ‘hanya’ sebatas komunitas penyuka jalan-jalan. Bersyukur saya masuk ke RT 7 yang ( kala itu ) sangat aktif. Admin dan warganya, sangat mengapreasi bakat dan kemampuan anggotanya. BPJpun memberi ruang untuk keminatan-keminatan tertentu, sehingga selain WAG RT ada jga WAG Klub keminatan/hobby. So Meaningfull !!

Kalau sebelumnya, saya menulis untuk konsumsi pribadi. Sejak masuk RT tersebut, saya kerap sharing tulisan berbentuk puisi. Termasuk duet menulis puisi dengan teman sewarga yang sempat dibawakan pada peringatan HUT BPJ. Apalagi setelah masuk Klub Kubbu. Saya belajar banyak tentang hiruk pikuk dunia penulisan juga buku. Selain menulis puisi, saya juga belajar menulis non puisi, walaupun masih sebatas mengikut kegiatan “Arisan Kubbu.”   Many thanks. At All !!

Ya, salah satu genre penulisan favorit saya adalah menulis puisi. Bahkan untuk satu puisi, saya bisa menghabiskan waktu untuk membaca 5 atau lebih buku terlebih dahulu. Tak jarang, ditambah lagi dengan membaca dengan beberapa artikel / jurnal. Walaupun buku/artikel/jurnal yang dibaca tersebut not related dengan isi tulisan saya. Sebagian diantaranya, merupakan catatan khusus dari case-case yang sedang / sudah saya tangani.

Termasuk  untuk caption posting-an di Instagram. Yang pertama disiapkan adalah sang caption itu sendiri. Sebagai 'hasil'  membaca beberapa bab dari beberapa buku. Picture justru pilihan berikutnya. 

Lalu, adakah alasan lain sehingga menulis puisi begitu menarik untuk saya? Karena jawabannya akan kembali panjang kali lebar -jika ada yang penasaran- . Nanti saja saya ceritakan. Tersendiri.

 

“Lebih Suka Menulis atau Membaca?”

Ternyata. Maksudnya, biasanya. Walaupun saya sudah cerita ‘berjilid-jilid’ yang intinya seperti diatas. Namun tetap saja, ada yang penasaran. Meminta saya, menjawab mana yang lebih disuka. Ya sudahlah. Saya akan menjawabnya secara normatif.  Bahwa saya makin suka membaca karena saya sangat suka menulis. Bahwa saya jadi sangat suka menulis karena saya sangat suka membaca.

 

Masih ada, pertanyaan selanjutnya? 


Jumat, 26 November 2021

No Limited Inspiration

 

Hari terakhir sebagai rekan kerja, beberapa tahun lalu.

“Aku titip mbakku ini ya…. Dia, cepet banget alergian gitu.”

 

Walaupun kami tidak lagi menjadi teman kerja. Walaupun pada saat menjadi teman kerja, di tempat kerja kami bersikap profesional. Namun, dalam berbagai hal kami senantiasa saling mendukung. Seperti pesan di atas yang disampaikan kepada karyawan baru yang menggantikan dia.

Uniknya. Kami mempunyai begitu banyak perbedaan.  Seperti rentang usia, hobby ataupun keminatan, religi, pendidikan, selera, kondisi sosial budaya  dan masih banyak lagi. Namun, tidak pernah sekalipun menjadikan kami bertengkar karena perbedaan-perbedaan tersebut.

              Beberapa hari lalu.

“Mbak, kita bisa bersahabat seperti ini… justru karena kita berbeda banget ya… “

 

Mungkin tanpa pernah ia sadari.  Dialah yang sering kali ‘menyadarkan’ saya tentang  bagaimana menyikapi perbedaan tanpa mesti mencari-cari persamaan. Seorang, sahabat muda usia yang mementingkan unsur humanis  dalam keseharian. Menunjukkan ketulusannya yang luar biasa mengesankan.  

                                           Pada hari sedang berduka cita.  

“Mbak, sekarang aku jadi mama untuk adikku.”

                                                                                     

Dialah, wanita tegar yang walaupun didera berbagai kondisi bahkan konflik kehidupan namun berusaha menghadapinya dengan segala keterbatasan. Selalu berkeyakinan bahwa akan ada titik terang atau jalan tengah ‘menundukkan’ suatu masalah.  Bahkan, sejak usia belasan sudah berinisiatif untuk  mengambil alih tanggung jawab keluarga tanpa mengeluh atau meminta permakluman. Tanpa perlu, mengumbar ikhtiar kerasnya.

Hari itu, ketika satu beban berat bertambah lagi di pundaknya.

“Kalau aku menyerah, siapa yang akan ‘mengangkat’ aku, mbak?”

 

Bagaimana pengorbanan dan perjuangan hidupnya, membuat saya sering terkagum-kagum sendiri. Seperti bagaimana dia dan keluarga menerima perlakuan yang kurang pantas karena konsisi sosial ekonomi yang pas-pasan. Namun, ia tidak pernah, malu mengakui hal tersebut.  Sekali lagi, ia tak hanya menunjukkan secara nyata bagaimana bersikap terhadap perbedaan. Namun juga, bagaimana bersikap jika menghadapi perbedaan perlakuan.

Katanya tentang hari-hari penuh aktivitas.

“Aku percaya Tuhan. Tuhan selalu bantu aku. Jadi, ini caraku untuk bersyukur pada Tuhan.”

 

Ya, sering kali terbesit di pikiran. Bagaimana dia bisa begitu ‘sempurna’. Very good looking, smart, taft, friendly & religious. Selalu punya waktu untuk orang lain. Senantiasa menyempatkan diri untuk belajar hal-hal baru. Berusaha berbagi kepada sesama, sebaik mungkin dan sebisa mungkin.  Ditengah segudang kesibukan di depan matanya.

Again!  Ia membuat saya kembali merenung dan Thanks God. Betapa inspiring nya ia. Benar,  Tuhan memang  menghadirkan kita semua dengan sejumlah perbedaan. Namun, mengapa -sebagian dari- kita mesti terjebak  mempertentangkannya ?  Padahal, tentu ada benang merahnya agar saling melengkapi,  sebagai  salah satu cara kita untuk bersyukur kepadaNya.

 

Rabu, 24 November 2021

Something about Later ( are you Sure ? )

 

Sering kali kita mendengar kalimat pelipur lara seperti, tunggulah sampai tiba saatnya. Atau, diminta untuk menahan sabar lebih lama lagi, karena sekarang mungkin belum waktunya. Kalau bukan saat ini, lalu kapan?  Ya itu… nanti !

Siang itu,  (mantan) pasangan, curhat dalam waktu yang hampir bersamaan….

Ketika seorang teman menjadi sahabat.  Lalu karena semakin dekat lantas menyadari, bahwa merasa ‘sesuatu’ lebih dari sahabat. Rindu yang berbeda. Keinginan untuk kebersamaan yang lebih intens, dan seterusnya. Sampai di titik harapan; Apakah mungkin dapat bersatu menjadi pasangan hidup? Tidak , saat tidak mungkin. Kalau nanti ?... Yaa, nanti saja !

Walaupun dalam keseharian, tampaknya tidak ada kendala yang berarti bagi mereka. Begitulah yang orang lain lihat. Namun ada beberapa prinsip yang tidak dapat terjembatani.  Bahkan, hal-hal tersebut, telah disadari sejak awal hubungan. Pada diri masing-masing, tanpa penah membahasnya secara khusus.

Seperti biasa. Lebih tepatnya, di kondisikan seperti ‘biasa-biasa’ disepakati bahwa hubungan tersebut di suspend tanpa batas waktu.  Untuk mempertimbangkan ulang, apakah mereka akan lanjut terus dengan berbagai perbedaan prinsip atau lebih baik diakhiri daripada bermasalah dikemudian hari. Menyesal?

Tidak ! Karena, dalam perpisahan yang telah dipersiapkan ‘seindah mungkin’, sempat terlontar bahwa   kalaupun di muka bumi ini tidak berjodoh. Yang penting -semoga- dipersatukan di surga, nanti….   

Sebelumnya, dengan nada bercanda, lagi-lagi ‘disepakati’ bahwa akan mencari pasangan baru dengan prinsip yang sama. Jika ternyata, hubungan baru tersebut, kandas. Waktu suspend diakhiri / apapun kondisinya, hubungan yang terjeda tersebut, dilanjutkan.  Simple way?  Mungkinkah, akan seperti itu?  tunggu saja nanti !

Setelah sekian lama. Keragu-raguan mulai mendominasi pikiran salah satu pihak. Atas kemungkinan untuk menjalin kembali hubungan yang terjeda tersebut. Bukan karena ada pasangan baru atau belum. Bukan karena, rindu yang menipis. Bukan juga karena belum atau sudah menemukan jalan tengah atau titik terang menghadapi beberapa perbedaan prinsip. Bukan pula karena masalah komunikasi. Terus, bagaimana? Akan dijelaskan, tapi… Nanti dulu !

 Mungkin, merasa telah cukup ‘menawar waktu’. Pada satu kesempatan, salah satu pihak berinisiatif untuk menyampaikan keputusan pribadi. Bahwa sudah ikhlas mengakhiri hubungan mereka secara ‘permanen’. Sudah saatnya, menerima kenyataan. Menjalani jalan takdir masing-masing. Life must be go on !


Tanpa disangka, salah satu pihak mencoba bertahan. Alias  tidak bisa menerima hal tersebut.  Dengan gusar dan menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Ia menolak keputusan sepihak tersebut,  karena  sangat yakin kalau sesungguhnya mereka berjodoh.  Walaupun perbedaan prinsip menjadi  aral melintang, memang sulit diabaikan. Nanti-nantinya, akan ada solusi untuk itu. Setengah putus asa, berucap,

“ Memangnya kamu siapa, bisa yakin kalau tidak mungkin berjodoh!”

“ Kamu akan jadi pasangan saya, lihat saja, nanti !”

 

Selasa, 23 November 2021

Social Media Noted

 

Find & (Un)fine

Seorang teman. Teman Lama. Lama sekali tidak saling berkirim kabar. Tiba-tiba menyapa dengan lugas. Tanpa banyak basa-basi. Dia ‘memprotes’ satu posting-an di FB  hal yang sangat sulit dibantah maupun dijelaskan alasannya. Bahkan, dengan nada ‘memaksa’ meminta password untuk menghapus posting-an tersebut. Padahal sang pemilik account, sudah lama sekali tidak update ( dibaca : lupa )  Facebook dimaksud.

Akibat tidak terhapusnya picture yang diminta, silaturahmi yang baru terjalin kembali, tidak berlanjut. Apakah mesti sampai seperti itu, ya?

 

Find & (without)Permission

Seorang kenalan. Kenal karena satu dua kali bertemu. Bertemupun tanpa sempat ngobrol akrab. Dapat dipastikan, tidak sempat bertukar info account media sosial. Hanya sekedar bertukar senyum. Sudah sampai disini? Oh belum !!

Kita memang tidak pernah bertemu lagi setelahnya, tidak juga saling berkomunikasi walaupun bergabung di WA group suatu komunitas. Sampai suatu ketika, tanpa disengaja membuka ( entah, mungkin memang sudah waktunya untuk tahu ) koleksi photo yang ia posting di Instagram.

Oh My God! ternyata  galeri foto di instagramnya, hanya berisi foto-foto yang berasal dari instagram orang lain ( dibaca : saya ) yang diambil tanpa izin atau menuliskan sumber aslinya.  Direct message maupun japrian untuk mempertanyakan hal tersebut tidak di gubris. Bahkan, terus posting karya-karya orang lain, lagi di galerinya. Hemm, sebegitu sulitkah untuk meminta izin?

 

Find & Appreciate

Untuk beberapa orang.  Ada kalanya caption atas suatu posting-an di Instagram, Twitter, Status WA atau Facebook, menjadi lebih ‘menarik perhatian’ dari hal utama yang di posting. Padahal beberapa caption awalnya dibuat secara impulse. Namun tidak jarang beberapa orang justru memberi komentar dengan serius. Bahkan, pernah sampai penasaran. Bertanya langsung  maupun tidak langsung, ada apa dibalik kata-kata tersebut. Di antaranya, bahkan bukan penutur Bahasa Indonesia maupun Inggris. Sehingga untuk menjelaskannya, perlu perjuangan sendiri. Namun menyenangkan rasanya.

Bahkan banyak yang memberikan ide menarik. Seperti bagaimana jika dibukukan. Atau di buat dalam versi youtube, tik tok dst. Diantara mereka, juga sempat mengingatkan akan rentannya karya kita di ‘curi’ pihak lain untuk kepentingan / keisengan pribadi. Bahkan, memberikan dukungan atau saran agar karya kita semakin baik. Terimakasih !

Mempunyai teman-teman baru dari berbagai sudut bumi, melalui karya kita di aplikasi media sosial adalah sesuatu yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.  Bertemu kembali dengan teman-teman lama lewat media sosial juga sesuatu yang membahagiakan.  Berbagi cerita, pengalaman, kenangan dan pengetahuan dari media sosial, semakin hari tampaknya menjadi keseharian kita.  Tentang seberapa positif atau negatifnya, tergantung bagaimana kita menggunakannya bukan menyalahgunakannya.

Minggu, 21 November 2021

Identify Birthday Moments

 

Ini tentang Dini dan Doni ( Panggil mereka, seperti itu ya ).

‘Tanpa disengaja’ ( setidaknya dari pihak Dini ) mereka bertemu lagi 5 tahun kemudian. Hal ini memang perlu diberi tanda kutip. Dari Pihak Dini, memang demikian adanya.  Berbeda dengan Doni. Perlu waktu 5 tahun untuk sanggup bertemu Dini lagi, secara langsung. Setelah merasa siap, Doni merencanakan pertemuan yang seolah tidak disengaja tersebut.  Kenapa ?

Karena dulu -pun sampai sekarang- Doni tidak bisa menerima alasan penolakan Dini. Rasanya, begitu banyak kecocokan diantara mereka. Kebersamaan yang bertahun-tahun tanpa pernah konflik. Selalu  saling support dan tidak pernah ada perbedaan yang sangat serius. Satu hal, yang paling membuat Doni yakin mereka ‘ditakdirkan’ berpasangan adalah beberapa kejadian, yang   menurutnya bukanlah sekedar kebetulan.

Di tahun pertama kedekatan mereka. Ada moment yang tidak pernah bisa dilupakan oleh Doni. Ketika salah satu dari mereka berulang tahun. Mereka saling memberi hadiah yang sama persis! Baik saat ulang tahun Dini maupun Doni. Kok bisa?

Sungguh surprise. Keduanya malah tidak tahu bahwa salah satu diantara mereka, hari itu berulang tahun. Walaupun cukup dekat, ternyata mereka sebelumnya tidak pernah menanyakan tanggal lahir.  Kedua, tidak ada pembicaraan sebelumnya bahwa hari itu mereka akan saling memberikan kado. Bagi Dini, ini hanya kebetulan. Dini tidak tahu bahwa Doni bahagia sekali dan menganggapnya ‘suatu’ pertanda baik.

Pada tahun berikutnya. Ketika Doni berulang tahun, tapi Dini tetap tidak ingat tanggal lahir Doni. Kebetulan. Ini betulan kebetulan ( sudahlah,  kita anggap lagi ya seperti itu ). Mereka bertemu di toko yang sama. Dini memang sekedar show window. Sedangkan Doni memang sedang mencari suatu barang di toko tersebut.

Belum sempat Doni menyampaikan maksud kedatangannya ke toko tersebut.  Tiba-tiba, Dini, menunjuk satu benda ( maaf nih, Doni keberatan kalau saya di tulis benda apa yang dimaksud ) yang menurut Dini sangat dibutuhkan Doni saat itu.

Setengah berlari,  Doni  membawa barang tersebut ke kasir dan meminta izin untuk menukar dengan barang yang sudah dibeli sebelumnya. Ternyata, sebelum Dini tiba di toko tersebut. Doni sudah membeli barang serupa yang ditunjuk juga oleh Dini. Hanya sekarang, dia minta ganti dengan yang dipilih oleh Dini.

Kening sang kasir sempat sedikit berkerut. Namun tersenyum. Ya iyalah, barangnya sama persis. Tapi kok minta ditukar? Syukurlah, kasir yang pengertian itupun mengabulkan permintaan Doni. Sepertinya so sweet ya. Jadi cukup wajar kalau Doni berfikir, betapa cocoknya mereka. Walaupun Dini tidak membelikan Doni hadiah ulang tahun. Baginya, perhatian Dini tersebut,  sudah cukup menjadi kenangan  ulang tahun yang paling berkesan.

Berbeda dengan Dini. Doni menganggap sederet kebetulan diantara mereka tersebut, apalagi di momen ulang tahun adalah sebagai pertanda kecocokan. Hadiah ulang tahun yang tidak terlupakan bagi Doni. Bahkan selama lima tahun tidak bersama, benda-benda tersebut, hampir tidak pernah jauh dari Doni. Walaupun terlihat sudah kusam dan tidak layak digunakan. Doni tidak pernah menghiraukan apa kata orang.  Bahkan, seorang teman yang merasa  ‘kasihan’ membelikan barang yang baru, namun Doni tidak bergeming, tanpa menyampaikan alasan dibalik semua itu.

Jadi 5 tahun kemudian,   Doni sudah merasa sudah cukup kuat mental untuk bertemu muka dengan Dini. Ia merencanakan sebaik mungkin agar pertemuan tersebut terkesan kebetulan ( ah sayang, sekali lagi Doni meminta saya, untuk  tidak menuliskan hal-hal yang dia rencanakan secara rinci ).  Ya, tanpa Dini sadari, selama 5 tahun Doni yang belum move on terus ‘mengikuti’ aktifitas Dini. Senantiasa berdoa, agar Dini yang sekarang, sudah bisa menerima dia.

Singkat cerita,   ‘tanpa sengaja’ mereka akhirnya bertemu kembali lagi. Doni berusaha keras menunjukan kepada Dini sebagai person yang lebih baik tanpa mengungkit ‘penderitaan’ yang ditahannya selama 5 tahun.  Sesuai rencana, pada moment ulang tahun, Doni mengajak Dini ke toko yang pernah mereka kunjungi bersama bertahun silam itu.

Sesampainya di toko ‘kenangan’. Dengan berhati-hati, Doni menanyakan, apakah Dini mengetahui alasannya mengajak ketoko tersebut.  Seraya, menunjukkan jenis barang yang serupa dengan waktu itu. Namun reaksi Dini sungguh mengecewakan Doni. Dengan ringannya Dini mengatakan tidak tahu dan tidak ingat kalau itu moment ulang tahun Doni. Bahkan, ketika Doni menceritakan ulang, Dini hanya bilang. Oh, ya ?

Minggu, 14 November 2021

Listening is Healthy

 

I can see clearly now the rain is gone
I can see all obstacles in my way
Gone are the dark clouds that had me blind

 

It's gonna be a bright (bright)
Bright (bright) sunshiny day
It's gonna be a bright (bright)
Bright (bright) sunshiny day

 

Oh, yes I can make it now the pain is gone
All of the bad feelings have disappeared
Here is that rainbow I've been praying for

 

It's gonna be a bright (bright)
Bright (bright) sunshiny day

 

look all around, there's nothing but blue skies
Look straight ahead, there's nothing but blue skies

 

I can see clearly now the rain is gone
I can see all obstacles in my way
Here is that rainbow I've been praying for

 

It's gonna be a bright (bright)
Bright (bright) sunshiny day
It's gonna be a bright (bright)
Bright (bright) sunshiny day

 

Bri-ri-ri-ri', bright, (bright)
Bright (bright) sunshiny day, yeah, eh
It's gonna be a bright (bright)
Bright (bright) sunshiny day
It's gonna be a bright (bright)
Bright (bright) sunshiny day, yeah, na
It's gonna be a bright (bright)
Bright (bright) sunshiny day
Bri-ri-ri-ri', bright (bright)
Bright (bright) sunshiny...

 

Lirik dan makna dari lagu lawas “I Can See Clearly Now”  yang diciptakan dan dinyanyikan oleh penyanyi reggae Johnny Nash di atas kerap membantu proses healing untuk client saya  yang merasa putus asa. Bahkan ‘menvonis’ diri tidak akan sanggup untuk keluar dari masalah. Walaupun awalnya, banyak yang tidak tahu lagu tersebut. Setelah mereka mendengarkannya, reaksi mereka cenderung positif.

Optimisme yang disampaikan dalam lagu tersebut, bukanlah meniadakan masalah.  Lihatlah ‘keluar’. Walaupun ada rintangan namun jangan gentar untuk menghadapi. Yakinlah, ada titik terang. Bahkan ada pelangi yang membuat hidup kita akan lebih berwarna setelah melewati masalah tersebut. Ya, walaupun dalam kenyataannya tidak sesederhana itu, walupun setelahnya mungkin kita masih menghadapi masalah-masalah berikutnya.  

 

Selain, nature healing  seperti itu.  Teman dekat atau sahabat ( selain keluarga maupun pasangan ) adalah circle pertama dan utama dalam proses psychology healing.   Seperti yang disampaikan dalam -satu lagi- lagu lawas dari Dionne Warwick “ That’s What Friends Are For”.  Bahwa, sejatinya, sahabat ada saat kita baik maupun buruk. Sejatinya, itulah sahabat. Karena satu dan lain alasan, kadang kita justru menjauhkan diri dari sahabat saat menghadapi masa-masa buruk, karena tidak ingin membebani. Padahal, sering kali keterlibatan sabahat justru sangat membantu proses counseling.

 

“… Keep smiling keep shinning

 knowing you can always count on me

For sure that;s what friend are for

Foor good times and bad times

I’ll be on yout side forever more

That’s what friends are for.…”

 

Masih ada beberapa lagi lagu  yang menginspirasi, mencairkan suasana ataupun membuat nyaman pada berbagai sesi counseling. Mengingat setiap mereka adalah pribadi yang special. Saya jadi  terpacu, mesti memahami berbagai genre musik. Ya, secara langsung maupun tidak, musik dapat menjadi media healing yang mumpuni.

 

Beberapa lagu,  awalnya ditujukan sebagai salah satu media untuk lebih memahami atau membantu client. Namun akhirnya saya ikut memfavoritkan lagu  favorit mereka. Seperti lagu-lagunya Kunto Aji, terutama “Rehat.”  Bahkan “Love Myself” nya BTS !

 

Cukup mengagumkan, banyak diantara mereka ( client ) yang sesungguhnya, sudah berusaha self healing.

Antara lain dengan ‘mencari bantuan’ melalui lagu-lagu. Atau musik telah menjadi pertolongan pertama atau antara sebelum akhirnya mereka membutuhkan penanganan yang lebih komprehensip dari profesional. Sehingga ketika musik digunakan sebagai salah satu media healing, secara umum responnya positif.

 

Biasanya, setelah menangani case-case yang cukup menyita pikiran. Saya menjedanya dengan mendengarkan lagu dari band  favorit saya : Scorpions. Terutama lagu “Wind of Change.”   Mengulang Berapa kalipun, saya tidak pernah bosan mendengarnya. Lagu yang monumental dan inspiring

 

“… Take me

To the Magic of the moment of the Grory night

Where the children of tomorrow dream their way

In the wind of change….”

Diselang-seling dengan mendengarkan suara merdu dari Nissa Sabyan. Terutama lagu “Ya Maulana.”  Kalau biasanya saya mendengarkan musik disambi mengerjakan yang lain. Namun saat mendengarkan  lagu tersebut, saya menghentikan aktifitas lainnya.

“ Dengan kasih-Mu ya Rabbi Berkahi hidup ini

Dengan Cinta-Mu ya Rabbi damaikan mati ini

 

Saat salahku melangkah

Gelap hati penuh dosa

Beriku jalan Temui Mu di surga

 

Terima sembah sududku

Terimalah Doaku

Terima sembah sujudku

Izinkan ku bertaubat….”

 

 

Sementara ini , semenjak pandemic saya menyempatkan diri untuk berolah raga ringan dengan lebih rutin. Ditemani lagu-lagu favorit saya dari gelaran piala dunia.  Seperti “The Cup of Life” dari Ricky Martin  ( Piala Dunia 1998 ) serta “Wavin Flag” dari K’Naan ( Piala Dunia 2010 ).  

 

Nah, sekarang olahraga pagi saya lebih berwarna karena diiringi juga dengan lagu-lagu dari Indonesia Timur, antara lain “ Kaka, Ade Masih Sekolah” dan “Kasih Slow “  . Untuk itu, saya mesti mengucapkan terimakasih kepada Mas Iqbal. Teman dari Club Kubbu BPJ atas tulisannya di program arisan. Yang pada saat ybs. perjalanan di suatu wilayah di propinsi NTT, sang sopir terus memutar ulang lagu trsebut. Penasaran, saya jadi searching  dst..dst.  Ternyata oh ternyata, bikin senyum dan asik untuk musik latar olahraga.  Coba dech dengerin….

Kamis, 11 November 2021

Mbak, dari Indonesia ?

 

Ada hal menarik, yang cukup menggelitik pada suatu kesempatan saat berkunjung ke satu negara di Timur Tengah. Bagaimana tidak,  sejak kami masuk restauran sampai selesai proses pembayaran. Salah  seorang karyawan di rumah makan tersebut tersenyum dengan sangat hangat dan ramah. Apakah salah satu dari kami, pernah bertemu dengannya? Dapat dipastikan, jawaban kami serupa : Belum pernah !

Saat hendak beranjak keluar untuk melanjutkan perjalanan. Karyawan tersebut masih dengan senyum hangatnya menghampiri kami. Menyapa dengan bahasa Indonesia yang cukup baik.

“Maaf, Mbak-mbak dari Indonesia ya? Bawa In**mi* gak ?”

Dengan mata yang berbinar dan tanpa menunggu jawaban kami, karyawan tersebut ( ah, kami lupa untuk berkenalan, menyebutkan nama) melanjutkan. Bahwa, dia sudah pernah ke Indonesia. Sebelum ke negara kita, ternyata dia sudah pernah makan mie tersebut. Sangat suka karena rasanya, menurut dia cukup enak.

Namun, dia tidak menyangka kalau mie dengan rasa dan merek yang sama, rasanya berbeda. Lebih enak yang ‘versi’ Indonesia. Jadi menurut dia, makanan yang rasanya paling mengesankan dan sulit dilupakan, ya In**mie* !!  Walaupun dia tidak menanyakan pendapat kami, rasanya kok kami sependapat ya.

Kemudian yang makin membuat dia berkesan adalah, apalagi saat makan mie di pinggir jalan bersama teman-temannya dan berkenalan dengan penikmat mie instant lainnya, ngobrol ngalor ngidul dengan akrabnya. Seolah bertemu teman lama atau sudah kenal lama. Kami hanya senyum-senyum mendengar, sebegitu nikmatnya kah?

“Gimana, mbak-mbak bawa mie itu ? Boleh saya beli? Jual lebih mahal juga boleh. Saya rindu makan In**mi* tapi tidak tahu kapan akan ke Indonesia lagi. Jangan kaget ya, memang setiap ketemu  turis dari Indonesia, saya sering tanyain ini. Saya denger, orang Indonesia kalau keluar negeri suka bawa mie istant.” Tetiba kami jadi kesulitan menjawab. Hanya tersenyum seraya menghibur dia semoga segera bisa ke Indonesia lagi dan makan mie istant tersebut sepuas-puasnya !!  Maaf ya, sebenarnya karena…

Sesampainya di hotel, tanpa di komando. Kami langsung menyeduh mie instant dengan cara seadanya. Ternyata, benar-benar nikmat!! Pada saat dia bercerita dengan penuh antusias,  pikiran kami beralih dari melanjutkan jalan-jalan menjadi lanjut makan mie istant. Sambil bercerita seru, pengalaman unik kami mengenai mie instant. Hari-hari selanjutnya, kami tidak tertarik lagi wisata kuliner. Walaupun banyak info bahwa, ini jenis bukan makanan yang recommded untuk dimakan jangka panjang. Namun bagaimana ya, pikiran kami sulit lepas dari si ‘kriting kuning’.

Ternyata comfort food atau makanan 'khas' kita tersebut menghangatkan relasi interpersonal secara universal ya. Membanggakan !!

 

Selasa, 09 November 2021

Kepada dia atau Dia ?

 

Pukul 03.30 WIB di suatu hari Sabtu pada Medio April 2020.

“ Mbak, angkat telpon aku !”

“ Mbak, kamu harus tolong aku!”

“ Aku, gak kuat lagi… tolong, terapi aku, Mbak…”

 

Dear Kamu ( aku ganti ya namamu dengan “Kamu”. )

Pesan suara ( voice note )  dari Kamu tersebut baru aku dengarkan empat jam kemudian. Maaf tidak langsung aku tanggapi, karena:

“ Mbak, ini aku kakaknya Kamu , adik saya dari kemarin pulang kerja, wajahnya muram. Tanpa menyapa kami _ tidak seperti biasanya_ dia langsung masuk kamar.  Tidak mandi maupun makan dulu. Sayup-sayup kami mendengar suara tangisan yang tertahan. Jelas kami menjadi bingung. Namun pertanyaan kami tak satupun yang dijawab.  Sepertinya semalaman dia tidak tidur. Kamipun khawatir,  sampai-sampai kami semua terjaga, juga tidak bisa tidur.  Dia tetap mengunci pintu kamar dan tidak memperbolehkan kami masuk. Namun pagi ini, karena kami mendengar suara jeritan dan tangisan yang meraung-raung, akhirnya pintu kami buka dengan paksa….”

Ya, kakakmu menghubungi aku, tepat pada saat aku akan menghubungi Kamu.

“Setahu kami, Mbak adalah teman terdekat adik saya. Kami bingung Mbak. Apakah dia sedang ada masalah, ya Mbak? Dia tidak mau cerita apa-apa. Hanya menjerit-jerit sambil menangis. Tadi, terpaksa kami tarik ke kamar mandi dan kami guyur air, agar dia mereda. Namun, dia terus menangis sesegukan tanpa henti dan tanpa mau bicara. Tolong kami, mbak. Tidak masalah, kalau dia tidak mau cerita ke kami.  Namun mungkin, dia mau cerita ke mbak. Tolong disampaikan ke kami, nantinya ya Mbak. Kami akan pura-pura tidak tahu….”

 

Dear Kamu ( semoga dengan nama samaran ini, ketakutan Kamu, berkurang ya )

“Mbak, aku takut…takut sekali !”

“Mbak, aku sangat ketakutan saat ini, mbak tolong… tolongin aku !”

“Aku, gak tahu mau cerita dari mana, aku menahan diri sebenarnya, aku sudah hancur sejak lama… “

 

Oh ya, tadi kakakmu memutus WA Call dan mengirimkan chat bahwa begitu  Kamu terlihat mau menghubungi seseorang.  Mereka yakin, aku yang Kamu hubungi. Sambil mendengarkan ceritamu, kakakmu terus japri, ingin tahu apa saja yang Kamu sampaikan. Bukan karena tidak sabar. Aku mengerti, karena sebagai keluarga tentunya mereka ingin terlibat langsung membantu Kamu.

Sambil terisak Kamu mengakui bahwa sempat menduakan Tuhan bahkan melakukan berbagai hal yang dilarang agama. Padahal, keluarga, lingkungan, teman sejawat maupun sahabat mengenal kamu sebagai pribadi yang “baik-baik” saja. Jelas, aku terperanjat tanpa sempat berkomentar apapun saat itu karena sungguh tidak menyangka ada sisi sekelam itu dari diri Kamu.

 

Dear Kamu (  walaupun sudah 1,5 tahun berlalu, aku belum bisa meninggalkan sebutan “Kamu )

“Mbak, hanya mantanku yang tahu siapa aku selama ini”

“Kemarin dia memaksa bertemu. Aku tak kuasa menolak dan kami kembali melakukan dosa….”

“Dia mengancam, akan membongkar semua aib yang telah berusaha aku kubur dalam-dalam _ketakutan terbesarku_ kepada keluarga”

 

Duh, selama beberapa hari setelahnya. Kamu terus bercerita, hal-hal yang rasanya tidak masuk akal dilakukan oleh person sebaik dirimu. Aku menahan diri, untuk focus mendengarkan tanpa mempertanyakan.  Sambil melakukan terapi senyaman mungkin untuk Kamu. Dengan keyakinan, Kamu sendiripun mempunyai tekad untuk hijrah ke jalan yang benar. Seperti image-mu selama ini.

Kakakmu masih penasaran menanyakan masalah apa yang terjadi sebenarnya. Namun, rasanya, tidak sampai hati kalau sampai keluargamu tahu sisi lain atau rahasia dirimu yang selama ini kamu tutupi dari mereka  Sementara ini, aku telah mengambil sikap. Cukuplah cerita aib itu sampai ditelingaku. Mungkin waktunya belum pas saat ini. Jika Tuhan telah menutupi aib kamu, mengapa kita mesti membukanya tanpa mempertimbangkan kondisi psikologis seseorang serta pertimbangan bijak lainnya.

 

Dear Kamu,

Namun maaf atas satu pertanyaan, yang sempat terlintas, kepada siapa sesungguhnya  ketakutan terbesar Kamu, kepada dia atau Dia?

 

 

Jumat, 05 November 2021

Only God Know




Sepanjang hidup, setidaknya sampai hari ini, tak pernah sedetikpun Tuhan meninggalkan saya. Namun, lebih dari jutaan detik, justru kita kerap 'meninggalkan' Tuhan.
Alhamdulillah, sejauh ini saya tidak pernah sampai di titik  'kehilangan' Tuhan.  Atau mengalami masa mencari cara untuk menemukan Tuhan. 

                                                                                                                                                          Ya Tuhan,
                                      Andai aku meninggalkankan-Mu, tolong temukan aku, tuntun kembali dijalan-Mu

Memang, ada berbagai kejadian yang membuat saya alpa mengingat Tuhan. Bahwa semua yang terjadi di muka bumi ini, adalah atas izinnya. Termasuk kegagalan. Rasanya cukup manusiawi jika disadari/tidak ketika mengalami hal yang tidak sesuai rencana. Kita mudah 'mempertanyakan' keadilan Tuhan. Astagfirullah.

Misalnya, tentang kegagalan promosi beberapa tahun lalu. Diawali menjadi yang terbaik. Siapa yang  menyangka kalau hasil final di 'diskualifikasi' tanpa alasan yang jelas dan tidak ada ruang untuk 'naik banding'.  Walau sampai sekarang, tetap tidak ada penjelasan yang rasional. Selain rumour, mungkin karena faktor "A", atau "B" bahkan "C"....

Lalu sampaikan pada satu kesimpulan. Dari begitu banyak pertanyaan tidaklah mesti berbanding lurus dengan banyaknya jawaban.  Apalagi jawaban yang sesuai ( dengan maunya kita ).



Jadi, mari mencoba untuk ikhlas dan legowo. Setelah di fase ini, barulah sedikit demi sedikit Tuhan menunjukkan 'alasan' mengapa saya mesti 'digagalkan'. Di Titik ini saya  menemukan (jawaban) Tuhan yang luar biasa, sampai sulit dijelaskan dengan kata-kata. Selain, Alhamdulillah, waktu itu gagal jadi...


          Ya Tuhan,
Maafkan aku yang sering tak menyadari hikmah kebaikan dari suatu kegagalan 

Ada lagi satu kejadian yang membuat saya, sadar sesadar sadarnya. Hanya Tuhanlah sang Maha Penolong. Jadi, waktu itu, karena keasikan motret saya jatuh dari jembatan rapuh yang menghubungkan dua pulau kecil di daerah Sulawesi Tengah. 




Patahan kayu-kayu jembatan  dan paku berkarat menghantam badan saya. Darah mengalir dari luka-luka sekujur tubuh. Rasanya perih dan kalut karena tercium anyir darah saya dan sempat panik kesulitan nafas sambil berusaha berenang ke atas permukaan air dengan kemampuan jarak pandang yang terbatas ( karena kacamata  raib alias ikut nyebur ke laut ).

Sampai beberapa waktu tak ada yang menolong, karena khawatir serangan hiu ganas di perairan tersembut. Dalam kekalutan untuk 'mempertahankan hidup' sempat terdengar teman-teman yang masih di kapal berteriak " Tuty.... awas Shark Attack !"  

Ya, memang sepanjang perjalanan tadi,  kapal kami diikuti oleh beberapa hiu yang seolah mendampingi kami mengarungi lautan berair sangat jernih. Orang kapal sempat cerita juga, kalau hiu-hiu tersebut sensitif dengan bau darah. Berikut kisah-kisah menyeramkan lainnya, tentang orang-orang yang pernah diserang hiu ....

Saat berjuang untuk naik kepermukaan laut itulah saya yang mulai kehabisan tenaga, tanpa ada yang berani untuk menolong, sempat berdoa. Ya Allah ampuni saya, jika memang masih ada umur, tolong selamatkan saya. Entah bagaimana, sepersekian detik saya sudah ada di permukaan, sempat saya lihat hiu-hiu menjauh. Di titik ini saya menyadari bahwa Tuhan dapat kita temukan dimanapun. Percayalah !!


Ya Tuhan,
Ingatkan aku untuk terus bersyukur pada Engkau tidak pernah meninggalkan umatMu yang sering meninggalkanMu ini. Aamiin

Senin, 01 November 2021

Spice Island : Never Ending Story

Beberapa tahun silam. Bermula dari suatu artikel, mengenai destinasi wisata yang dimuat pada satu harian terkenal Ibukota Jakarta. Bertajuk “ Selalu Ada Alasan Untuk Kembali Ke Ambon.” Sungguh tulisan yang ‘mengganggu’ pikiran. 
Penuh penasaran, langsung mencari literatur yang mengupas segala hal tentang Ambon. Termasuk ternyata Ambon bagian dari Kepulauan Maluku. 

Dari berbagai referensi yang membahas mengenai Ambon, selalu disebutkan satu Nama. Yaitu Des Alwi. Sang Penulis “ Sejarah Maluku : Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon” ( terbit tahun 2005 ), serta buku “Sejarah Banda Naira” (terbit tahun 2006 ). Terlepas dari kecenderungan keberpihakan sebgai seorang penulis sejarah. 
Di buku pertama setebal 622 halaman tersebut, dengan sangat antusias, Des Alwi berbicara panjang lebar mengenai sejarah kepulauan Maluku. Dimana pada masanya, tersohor sampai ke benua Eropa sebagai “Spice Island” . 

Terutama kepulauan Banda yang menjadi magnit Bagi bangsa Portugis, Inggris maupun belanda sejak tahun 1512. Sejarah panjang sampai sekitar 400 tahun kemudian.

Rempah-rempah, seperti Pala dan cengkah di satu sisi adalah berkah kekayaan alam yang luar biasa istimewa bagi masyarakat Banda, Ternate, Tidore maupun Ambon. Namun berubah jadi petaka, antara lain karena keserahan bangsa-bangsa asing tersebut untuk menguasai komoditi tersebut. Dst. dst. 

Sedangkan di buku kedua, sepanjang 387 halaman, Des Alwi mengungkapkan berbagai fakta mencengangkan mengenai sejarah kepulauan Banda. Seperti ternyata Banda telah menarik perhatian bangsa asing, dalam hal ini pedagang China sejak awal abad ke-X ! Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa ( abad 15) di kepulauan tersebut. 
Inilah buku-buku sejarah pertama yang membuat saya tertarik mencari tahu tentang fakta sejarah masa lalu. Buku yang tidak pernah bosan untuk dibaca ulang kapanpun dan dimanapun. Selalu ada pemahaman kembali, perenungan dan analisa serta ketertarikan untuk mencari sumber-literatur lainnya. Walaupun terjadi di masa lalu namun terus terkait sampai berabad-abad setelahnya. 

Buku “ Sejarah Maluku : Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon” dan “Sejarah Banda Naira” turut merubah pemahaman saya mengenai sejarah, bukan hanya untuk diketahui atau dihafalkan namun sebagai pembelajaran hidup dalam berbagai konteks, termasuk kaitannya dengan masa kini. Bukan suatu dikotomi, dilupakan atau diabadikan. Ternyata, lebih luas dari itu. Setidaknya dalam pemahaman awam saya…never ending story

Buku-buku yang mengawali saya semakin menghargai sejarah. Bukan sebatas sebagai situs, artefak, atas warisan sejarah namun lebih sebagai pesan masa lalu yang mesti dihargai, yang tidak menutup kemungkinan, sejarah yang berulang….. 

Sejak saat itu, setiap ada kesempatan, saya semakin  sering  mendatangi tempat-tempat bersejarah. selalu saja ada perenungan baru yang rasanya memperkaya pemahaman saya tentang berbagai sisi kehidupan. 

Bukan berarti kita hidup di masa lalu. Namun, bagaimanapun masa kini dan masa depan kita, diakui maupun tidak, ada space khusus tentang masa lalu di benak kita.

Minggu, 26 September 2021

My Live _ New Balancing

 

Saya takut dengan kesuksesan. Meraih kesuksesan berarti selesai dengan urusan di bumi, seperti laba-laba jantan yang dibunuh oleh betinanya setelah ia berhasil mengawininya. Saya menyukai kondisi penyesuaian yang terus menerus, dengan sasaran di depan bukan di belakang.

By George Bernard shaw

 

Kita, sering kali dihadapkan pada pertaanyaan; baik oleh diri sendiri atau orang lain. Apa sih tujuan hidup kita? Kemudian, pertanyaan berikutnya adalah, apa usaha kita untuk mencapai tujuan? Bagaimana perencanaan sasaran jangka pendek, antara, menengah atau sasaran jangka panjang? Seperti apa persiapannya? Lalu, sudah sejauh mana progress tujuan kita tersebut? Apakah sudah dipikirkan jika ada kendala dalam pencapaianya? Adakah sudah dipikirkan juga  sasaran alternatif mencapai tujuan ? dst. dst…..

Jika pertanyaan – pertanyaan tersebut, tidak dapat dijawab dengan jelas atau dengan jawaban yang  terkesan tidak siap bahkan tidak punya jawaban, maka tak ayal, kita cenderung terpojok. Merasa tidak nyaman. Tidak sedikit yang merasa, tanpa detail tujuan hidup, maka hidup kita selanjutnya akan sia – sia. Haruskah seperti itu?

 

Mengendalikan Bukan Dikendalikan Tujuan Hidup

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan atau tidak membenarkan mereka yang mempunyai cara tersendiri dalam mengendalikan tujuan hidup. Namun mari kita memahami bahwa ada sebagian kita yang mempunyai cara ‘tidak biasa’ dalam menentukan tujuan hidup.

Bahwa, menetapkan setiap langkah sasaran untuk mencapai tujuan adalah hal baik. Namun jika pencapaiannya justru membuat kita merasa lelah bahkan stress berkepanjangan karena terlalu focus pada satu tujuan yang kita tetapkan, hingga melupakan hal – hal lain dalam keseharian. Bukankah hidup itu punya dinamikanya? Bukankah kegagalan satu sasaran, bukan berarti tertutupnya pintu keberhasilan secara keseluruhan? Bukankah hal tersebut membuka kesempatan kita menelaah lagi sasaran yang telah ditetapan sebelumnya?

 

Hidup adalah proses menjadi, Suatu kombinasi dari situasi yang harus kita lalui. Dimana orang gagal karena mereka berharap dapat memilih suatu situasi tertentu dan terus begitu. Ini sama saja dengan kematian.

By Anais Nin

 

Ketika kita menetapkan suatu tujuan ( untuk berbegai hal ), tidak jarang kita terlalu asik menyusun langkah-langkah keberhasilan. Atau menganggap kendala itu adalah ‘musuh’. Padahal sering kali dengan adanya kendala, kita justru mendapat ide baru. Bahkan jika diperlukan kita mengoreksi dengan sasaran baru yang justru lebih tepat. Dalam situasi ini, kita bukannya : kalah! Tapi kita menuju kemenangan dengan cara lain ( tentunya dalam konteks positif ).

Jadi, tidak selalu ‘kegagalan’ identik dengan ‘kesalahan’ menetapkan sasaran / tujuan. Bisa jadi dalam pelaksanaannya memang diperlukan revisi, dengan akhir yang mungkin berbeda. Kita sampai di keseimbangan baru antara rencana mencapai tujuan dengan tercapainya tujuan itu sendiri.

 

Ingatlah bahwa situasi hidup kita adalah akibat alami dari sasaran yang kita buat atau yang terus kita buat. Jika kita (mesti) mengubah suatu sasaran, kita harus mengubah pilihan (langkah) kita.

By Ric Giardina. Terj bebas.

 

SMART atau Smart ?

Dalam berbagai literatur, sasaran dipahami sebagai bagian untuk mencapai tujuan. Sedangkan tujuan itu sendiri diatur oleh sasaran. Bagaimana dengan anda sendiri?

Untuk ketepatan sasaran, kita diminta untuk SMART. Yaitu Spesifik, Measurable  (dapat diukur), Achievable (dapat dicapai), Result Oriented (berorientasi pada hasil) serta Time Based ( berbasis pada waktu ). Ini kaidah yang umum kita tahu dengan segala penjelasannya.

Namun masih ada hal smart lainnya, agar tujuan yang telah ditetapkan tidak menjadikan kita kehilangan sisi humanisnya, yaitu sejatinya penetapan tujuan adalah suatu reward yang membahagiakan diri kita.

Agar kita mencapai SMART dengan smart, maka pastikan bahwa dari mulai menyusun sasaran dengan rasa bahagia, tujuan yang kita tetapkan adalah sesuatu yang menjadi minat kita. Sesekali, ada baiknya kita tidak selalu ketat menetapkan langkah atau sasaran. Biarkan diri kita berkembang dengan lebih menyerap kebaikan-kebaikan di kiri kanan kita.

in frame : Krisna

Kemudian, jika dalam perjalanan waktu mencapai tujuan kita membuat keputusan yang keliru ( sepanjang tidak ada norma atau hukum yang dilanggar ), tidak mengapa jika kita mesti mengambil jalan yang memutar atau mempertimbangkan saran orang lain untuk merevisi sasaran kita. Karena kita tidak sempurna, biarkan pengalaman hidup terus menyempurnakan perjalanan hidup kita.

Ingatlah, bukan tidak ada namun kesempatan sering datang tetapi terkadang secara diam-diam dan tidak kita indahkan. Terlambat kita sdari dan menyesalinya dikemudian hari

 

Menjadi smart berikutnya adalah, walaupun secara tertulis kita sudah memastikan segala aspek, jika ada ide tidak terduga, jangan langsung kita anggap akan merusak rencana matang kita. Mungkin saja ide baru tersebut sebagai alternatif yang dapat membantu kita. Atau ide tersebut dapat kita gunakan untuk tujuan yang diperlukan pada kegiatan lain / berikutnya. Siapa tahu?


Satu hal lagi agar kita tetap smart adalah, jangan rendah diri jika tujuan yang kita tetapkan terkesan sederhana atau tidak istimewa. Begitupun jika kita punya keterbatasan-keterbatasan dalam membuat sasaran Namun ini adalah challenge untuk kita, memperkaya kehidupan dengan memperluas wawasan / pengetahuan dan pengalaman ( pun dari orang lain ).

 

 

Sabtu, 21 Agustus 2021

The "Deadline"

“Hidup berjalan cepat. Jika kita tidak berhenti dan sekali-kali meneliti sekeliling, banyak hal yang akan kita lewatkan.” ( Ferris Bueller )
 
Sebagian dari kita, termasuk saya kerap kali dihadapkan pada kondisi injury time 1 ) setelah deadline, saat mengerjakan suatu hal. Lalu diserang panik! Seakan waktu yang kita miliki, lebih singkat sepersekian jam dibandingkan waktu yang dimiliki oleh orang lain. 

Sialnya, semakin mendekati batas waktu, kita justru melakukan berbagai blunder 2) yang kian menghambat penuntasan tanggung jawab tersebut. Saat berhadapan dengan kondisi segenting itu tidak jarang kita merasa…ufff untuk bernafas saja kok sulit ! Sungguhkan waktu yang membuat kita nerveous ‘terjebak’ dalam kondisi under pressure, hopeless lalu stress sendiri? Apa yang terjadi? 
Secara alamiah pada saat itu, focus di otak kita beralih dari hal yang ada di hadapan kita menjadi tentang diri kita. Otak kita mempersempit filter menjadi -seperti- apakah mungkin pekerjaan tersebut mampu kita selesaikan? Jika kegamangan tersebut berlangsung dalam beberapa detik, masih dianggap sebagai hal yang wajar / dapat di toleransi oleh memori kita. 

Diharapkan sesegera mungkin, kita kembali focus pada cara atau bagaimana agar pekerjaan tersebut dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Beberapa hal sederhana atau relaksasi dapat kita lalukan. Misalnya?


Kita dapat mengambil sedikit waktu menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Atau beranjak sebentar dari tempat duduk kita misalnya untuk peregangan, mengambil cemilan dan minum. Atau bisa juga mengerjakan hal lain sebagai pengalihan sesaat. 


Menurut Christopher Willard 3), pada fase under pressure seperti itu, nafas kita memang tercekat. Reaksi tubuh kita ikut tegang bersama pikiran dan hati. Sedikit saja ada ‘gangguan’ kita mudah ‘meledak’. Mengapa? 

Sebab otak kita dalam posisi siaga serta ‘menutup’ hal-hal lain yang -mungkin- minta perhatian kita. Di saat seperti itu, hanya ‘signal bahaya’ yang tetap terjaga di bagian otak ( yang disebut amigdala ). Sedangkan bagian otak “korteks prefontal” tempat pemikiran-pemikiran terbaik berasal, justru -tanpa sadar- kita blokir. 
Bad News ! Kondisi ‘terblokir’ inilah yang dapat berujung pada perasaan hopeless. Seolah langkah atau ide kita berhenti di tempat. Atau hanya di jalan buntu yang tampak dihadapkan /pikiran kita yang jadi penghalang untuk melanjutkan atau menuntaskan tanggung jawab kita. Stress ! Stress! Stress!! 

Pada dasarnya, stress merupakan respond manusiawi yang wajar atas kekhawatiran kita tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sebelum atau tepat pada waktunya. Baik itu kekhawatiran yang nyata maupun di batas persepsi kita. Sering kali, sejak awal kita ‘terjebak’ oleh persepsi kita, bahwa pekerjaan tersebut ‘mustahil’ dikerjakan dengan baik dengan tepat waktu. 

Kita berharap akan adanya Extra Time4), penundaan atau dispensasi waktu. Bisa jadi dengan bantuan tambahan, penundaan maupun dispensasi waktu, hal yang membebani pikiran kita tersebut, akhirnya dapat juga diselesaikan. Lega rasanya. 

Namun, di lain kesempatan bisa jadi kita kembali menghadapi kondisi serupa. Bukan hanya satu tanggung jawab dan beberapa tanggung jawab sekaligus dengan tenggat waktu yang ‘tanpa ampun’. Lalu ? 

Ada ruang di antara stimulus dan respon. Di dalam ruang itu terdapat kebebasan dan kekuatan kita untuk memilih respon kita. Dalam respon kita terdapat pertumbuhan dan perkembangan kita (Anonim). 


Terlepas dari penilaian berhasil atau tidaknya hal yang kita kerjakan -sesunguhnya seiring kelegaan tersebut-memori kita menambah satu file penting. Yaitu mengenai bagaimana kita merespon suatu stres sehingga dapat keluar dari kondisi tersebut. File positif yang dapat membantu kita atau orang lain. Caranya? 
 Pertama-tama, sempatkan sejenak selepasnya (masalah tadi) untuk merasakan ulang / memaknai emosi yang kita rasakan sejak puncak kegamangan sampai titik balik hingga akhirnya. Apa saja yang tadi terlintas atau berkecamuk dalam pikiran kita. Apakah sebenarnya, sebelumnya kita pernah mengalami hal serupa atau bagaimana jika mendadak kita kembali dalam kondisi tersebut di kemudian hari. Apa yang terlintas di pikiran kita sehingga mendapat ide atau suatu tindakan di saat tenggat waktu. 

Satu hal lagi, terpenting untuk ucapkan Thanks God! Kita berhasil melewati hal waktu tersebut. Kemudian, congratulation and smile Up! jangan lupa untuk memberikan penghargaan dan kata selamat untuk diri kita. 

Plus… segera ucapkan terimakasih untuk pihak-pihak yang membantu kita. Juga ucapkan permohonan maaf, jika pada saat tadi, ada kata-kata atau perilaku kita yang sempat membuat orang lain kena imbas atas rasa nerveous kita. 

Jadi dalam hal ini, ternyata bukan waktu yang tidak bersahabat dengan kita. Tidaklah tepat utuk menyalahkan sang waktu kalau terasa tidak berpihak atas kesusahan memenuhi deadline. In the fact, waktu tidak pernah berniat untuk mendahului atau meninggalkan kita. Kitalah atau tuntutan tanggung jawab yang membuat batasan-batasan akan waktu. 

Sekarang, mari bersahabat dengan waktu mumpung kita masih punya waktu untuk melatih memori kita memberikan respond yang tepat dan cepat menghadapi stres. Caranya? 

 To be countinue


----------------------------
1) Injury Time, istilah dalam olahraga sepak bola. Yaitu perpanjangan waktu dengan alasan yang sesuai The Law of The Game IFAB. Dalam tulisan ini, diharfiahkan sebagai kebijakan tambahan waktu setelah tenggat waktu (deadline)

 2) Blunder, istilah dalam olah raga sepak bola. Yaitu kesalahan fatal yang disebabkan oleh kecerobohan yang tidak diperhitungkan dahulu. 

3) Growing up Mindful,  Christopher Willard, Benteng Mustaka. 2020. Terj. 

4) Extra Time, istilah dalam olah raga sepak bola. Yaitu perpanjangan waktu setelah pertandingn dalam normal waktu berakhir seri. Dalam tulisan ini, diharfiahkan sebagai tambahan waktu setelah deadline dan injury time.