Selasa, 09 November 2021

Kepada dia atau Dia ?

 

Pukul 03.30 WIB di suatu hari Sabtu pada Medio April 2020.

“ Mbak, angkat telpon aku !”

“ Mbak, kamu harus tolong aku!”

“ Aku, gak kuat lagi… tolong, terapi aku, Mbak…”

 

Dear Kamu ( aku ganti ya namamu dengan “Kamu”. )

Pesan suara ( voice note )  dari Kamu tersebut baru aku dengarkan empat jam kemudian. Maaf tidak langsung aku tanggapi, karena:

“ Mbak, ini aku kakaknya Kamu , adik saya dari kemarin pulang kerja, wajahnya muram. Tanpa menyapa kami _ tidak seperti biasanya_ dia langsung masuk kamar.  Tidak mandi maupun makan dulu. Sayup-sayup kami mendengar suara tangisan yang tertahan. Jelas kami menjadi bingung. Namun pertanyaan kami tak satupun yang dijawab.  Sepertinya semalaman dia tidak tidur. Kamipun khawatir,  sampai-sampai kami semua terjaga, juga tidak bisa tidur.  Dia tetap mengunci pintu kamar dan tidak memperbolehkan kami masuk. Namun pagi ini, karena kami mendengar suara jeritan dan tangisan yang meraung-raung, akhirnya pintu kami buka dengan paksa….”

Ya, kakakmu menghubungi aku, tepat pada saat aku akan menghubungi Kamu.

“Setahu kami, Mbak adalah teman terdekat adik saya. Kami bingung Mbak. Apakah dia sedang ada masalah, ya Mbak? Dia tidak mau cerita apa-apa. Hanya menjerit-jerit sambil menangis. Tadi, terpaksa kami tarik ke kamar mandi dan kami guyur air, agar dia mereda. Namun, dia terus menangis sesegukan tanpa henti dan tanpa mau bicara. Tolong kami, mbak. Tidak masalah, kalau dia tidak mau cerita ke kami.  Namun mungkin, dia mau cerita ke mbak. Tolong disampaikan ke kami, nantinya ya Mbak. Kami akan pura-pura tidak tahu….”

 

Dear Kamu ( semoga dengan nama samaran ini, ketakutan Kamu, berkurang ya )

“Mbak, aku takut…takut sekali !”

“Mbak, aku sangat ketakutan saat ini, mbak tolong… tolongin aku !”

“Aku, gak tahu mau cerita dari mana, aku menahan diri sebenarnya, aku sudah hancur sejak lama… “

 

Oh ya, tadi kakakmu memutus WA Call dan mengirimkan chat bahwa begitu  Kamu terlihat mau menghubungi seseorang.  Mereka yakin, aku yang Kamu hubungi. Sambil mendengarkan ceritamu, kakakmu terus japri, ingin tahu apa saja yang Kamu sampaikan. Bukan karena tidak sabar. Aku mengerti, karena sebagai keluarga tentunya mereka ingin terlibat langsung membantu Kamu.

Sambil terisak Kamu mengakui bahwa sempat menduakan Tuhan bahkan melakukan berbagai hal yang dilarang agama. Padahal, keluarga, lingkungan, teman sejawat maupun sahabat mengenal kamu sebagai pribadi yang “baik-baik” saja. Jelas, aku terperanjat tanpa sempat berkomentar apapun saat itu karena sungguh tidak menyangka ada sisi sekelam itu dari diri Kamu.

 

Dear Kamu (  walaupun sudah 1,5 tahun berlalu, aku belum bisa meninggalkan sebutan “Kamu )

“Mbak, hanya mantanku yang tahu siapa aku selama ini”

“Kemarin dia memaksa bertemu. Aku tak kuasa menolak dan kami kembali melakukan dosa….”

“Dia mengancam, akan membongkar semua aib yang telah berusaha aku kubur dalam-dalam _ketakutan terbesarku_ kepada keluarga”

 

Duh, selama beberapa hari setelahnya. Kamu terus bercerita, hal-hal yang rasanya tidak masuk akal dilakukan oleh person sebaik dirimu. Aku menahan diri, untuk focus mendengarkan tanpa mempertanyakan.  Sambil melakukan terapi senyaman mungkin untuk Kamu. Dengan keyakinan, Kamu sendiripun mempunyai tekad untuk hijrah ke jalan yang benar. Seperti image-mu selama ini.

Kakakmu masih penasaran menanyakan masalah apa yang terjadi sebenarnya. Namun, rasanya, tidak sampai hati kalau sampai keluargamu tahu sisi lain atau rahasia dirimu yang selama ini kamu tutupi dari mereka  Sementara ini, aku telah mengambil sikap. Cukuplah cerita aib itu sampai ditelingaku. Mungkin waktunya belum pas saat ini. Jika Tuhan telah menutupi aib kamu, mengapa kita mesti membukanya tanpa mempertimbangkan kondisi psikologis seseorang serta pertimbangan bijak lainnya.

 

Dear Kamu,

Namun maaf atas satu pertanyaan, yang sempat terlintas, kepada siapa sesungguhnya  ketakutan terbesar Kamu, kepada dia atau Dia?

 

 

5 komentar:

  1. Mba Tuty, semoga tokoh kamu sekarang sehat2 aja ya lahir n batinnya dan udah bisa healing secara mandiri tanpa ketergantungan dg apapun atau siapapun..
    Semoga juga Mba Tuty, tetep sehat walafiat, jd bisa terus jd perpanjangan tangan tuhan buat melegakan batin orang2 lain..

    Nice sharing!

    BalasHapus
  2. Hai Kak Feb, sampai saat ini tokoh kamu masih saya dampingi. Namun kami tidak pernah mengungkit lagi kejadian tsb. Keluarganya sesekali masih bertanya, karena yakin ada masalah besar yang ditutupi. Kamu, sudah minta maaf kekeluarga, namun minta pengertian kalau tidak bisa terus terang masalah apa yang dia hadapi. Terimakasih support dan doanya kak Feb.

    BalasHapus
  3. dear Kamu, semoga bisa berdamai sama diri sendiri, dan hijrah ke jalan yang lebih baik seperti yang Mba Tuty harapkan dan panjatkan dalam doa.

    BalasHapus