My Story
Jumat, 22 September 2023
January_6
Sabtu, 05 Maret 2022
Kita dan Komunitas : Penguatan Identitas Diri, Identitas Sosial, atau ?
“Ikutan komunitas, ngapain juga sih?”
Ketika kita bergabung dalam suatu komunitas, biasanya ada beberapa
pertanyaan ‘klasik’ yang kerap terlontar. Mengapa disebut pertanyaan ‘klasik’ ?
Antara lain karena -bahkan- sebelum ditanyakan, kita sering kali telah ‘mempersiapkan’
jawabannya. Mengingat, hal-hal yang
ditanyakan begitu umum….
Sebagian dari kita, sudah menduga akan ditanyakan hal-hal seperti, untuk
apa bergabung di suatu komunitas.
Mengapa tertarik bergabung di komunitas tersebut atau mengapa ‘harus’
komunitas tersebut, bukan komunitas lainnya. Siapa yang mengajak atau apa yang kita
harapkan dengan bergabung di suatu komunitas. Lalu, kontribusi apa yang bisa
kita berikan untuk kemajuan komunitas.
Mungkin ada juga yang penasaran, kenapa kita bergabung di beberapa
komunitas sekaligus. Bahkan ada juga yang mempertanyakan mengapa mengikuti
lebih dari satu komunitas sejenis. Serta sederet pertanyaan selanjutnya. Lalu kitapun punya ‘daftar jawaban’ yang
normatif, argumentatif maupun sekenanya. Demikian juga, jika kita memutuskan
keluar dari suatu komunitas.
Pertanyaan – pertanyaan tersebut, berasal dari internal maupun eksternal
komunitas. Bahkan tidak jarang, dari diri kita sendiri. Tidak bisa dipungkiri juga, terkadang tidak ada
alasan subjektif maupun objektif yang pas atas bergabung atau keluarnya kita
dari suatu komunitas. Namun, mestikah
pihak lain tahu alasan kita.
“Ikutan komunitas, ngaruhnya apa?”
Sedangkan dalam pandanganpsikologis akan ada pertanyaan ‘menarik’
lainnya. Misalnya, apakah keikutsertaan kita pada suatu
komunitas terkait dengan penguatan identitas diri ( secara personal ) atau
justru penguatan identitas sosial kita dalam konteks komunal. Sejauh mana peran komunitas yang diharapkan
oleh individu? Sejauh mana peran individual dalam penguatan suatu komunitas?
Dari berbagai literatur, dapat dikatakan bahwa komunitas pada hakikatnya
merupakan kumpulan individu yang memiliki tujuan serupa. Dengan bergabung di dalam suatu komunitas, dapat
membantu individu mencapai suatu tujuan-yang sulit dicapai secara individual.
Seperti bergabungnya individu di komunitas jalan-jalan.
Tentunya bukan semata-mata alasan materi ataupun ‘senasib seperjuangan’
dalam perjalanan. Namun kebersamaan tersebut dapat berlanjut menjadi hubungan
yang lebih intens secara pribadi, emngembangkan hobby, minat maupun bakat atau
sebagai pemenuhan kebutuhan sosial maupun bisnis dan seterusnya. Pernah
mengalami ? Tentunya tidak terlepas dari
pengalaman-pengalaman yang juga tidak mengenakkan selama berkomunitas, yang
‘menggagalkan’ tujuan tersebut.
Disadari atau tidak. Diniatkan atau bukan. Ditunjukkan atau sebaliknya.
Di dalam berkomunitas, sebagian dari
kita secara signifikan berusaha
menunjukkan Identitas diri. Bahkan menguatkan Identitas diri dengan berusaha
menarik pengakuan dari sesama anggota kelompok. Seperti, mempunyai julukan khas
yang identik dengan diri kita. Citra tertentu yang menjadikannya berbeda dari
anggota komunitas lainnya.
Sebagian yang lain, sesama anggota komunitas turut mendorong kita untuk
menunjukkan identitas diri kita sampai eksistensi diri. Bahkan didapuk menjadi
‘pimpinan’ secara informal atau berdasarkan kesepakatan bersama. Penguatan identitas diri yang terkadang unik,
belum tentu kita dapati di dunia kerja maupun tingkat pendidikan formal.
Dalam konteks tulisan ini, identitas diri dimaksudkan sebagai kesadaran
akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan
sintesis dari semua aspek terkait konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh ( Stuart dan Sundeen, 1991 ).
Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan memandang
dirinya berbeda dengan orang lain, dalam hal perasaan diri berharga, mempunyai
kemampuan tertentu bahkan penguasaan terhadap kehendak diri. Bisa juga, identitas diri tersebut justru disematkan atau
mendapat ‘justify’ oleh sesama anggota komunitas.
Sementara itu, sebagian lainnya
justru ingin menguatkan identitas sosialnya dengan jalan berkomunitas.
Identitas sosial dalam hal ini sebagai bagian dari konsep diri seseorang yang
berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu komunitas yang
diiringi oleh signifikansi nilai dan emosi keanggotaan tersebut ( Tajfel,
1982 ) . Jadi, identitas sosial berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli
serta rasa bangga seseorang atas keangotaannya di dalam komunitas tertentu.
Terlepas dari berperan penting atau tidaknya kita dalam komunitas tersebut.
Jika disederhanakan, dapatlah dikatakan bahwa apabila kita bergabung
dalam komunitas yang well known maka membawa kebanggaan tersendiri bagi
identitas sosial kita. Individu tersebut
bahkan bisa sampai memiliki kelekatan emosional. Misalnya, akan turut membela
identitas komunitasnya jika ada yang mencoba mencorengnya. Seru, ya?
“Ikutan komunitas?
Ya untuk ikut-ikutan aja…”
Ups!! Apapun jawaban kita atas pertanyaan-pertanyaan tadi, sungguh
tergantung pada kebutuhan, atau keingintahuan
atau passion bahkan keisengan
kita atau apapun itu. Terserah, karena kita termasuk saya, mempunyai beragam
jawaban yang normatif, unik atau tertentu. Namun, yang perlu menjadi catatan adalah jangan
sampai bergabungnya kita tersebut ternyata sia-sia. Baik bagi diri kita maupun
komunitas itu sendiri. Namun, kalau
boleh saya penasaran (sekali-sekali boleh kan… ), ada alasan khusus kamu bergabung
dalam suatu komunitas ?
____________________
Inspiring Books
Faturochman &
Tabah Aris Nurjaman. 2018. Psikologi Relasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Harmaini dkk. 2016. Psikologi Kelompok. Jakarta : Rajawali Pers
Komaruddin Hidayat
& Khiruddin Bashori. 2016. Psikologi Sosial. Jakarta : Erlangga
Selasa, 30 November 2021
Started Because...
“Suka Membaca?”
Walaupun sudah terlalu sering mendengar pertanyaan di atas, saya tidak
pernah merasa bosan untuk menjawabnya. Pertanyaan dengan dua kata tersebut,
dengan sangat antusias akan saya jawab secara panjang lebar. Tanpa menghiraukan, apakah sang penanya
benar-benar tertarik dengan alasan saya gemar membaca atau sekedar mengisi
percakapan. Jadi begini…
Ya ! Saya sungguh sangat suka membaca. Bahkan sebelum masuk SD. Masih
segar diingatan. Saat itu, sebelum berangkat kerja, biasanya ayah kami membaca
koran terlebih dahulu. Melihat hal tersebut, sayapun segera duduk di sebelahnya. Bersiap
mendengarkan beliau membaca beberapa artikel di harian pagi langganan kami tersebut
atau saya menunjuk satu berita untuk dibacakan.
Mengingat kami mempunyai kegemaran yang sama, yaitu sepak bola ( ini
juga jawaban atas pertanyaan bagaimana saya sampai ‘keracunan’ sepak bola ).
Maka, artikel itulah yang sering kali saya minta ayah bacakan untuk saya. Saat beliau membaca, saya asik mendengarkan
sambil bola mata saya bolak-balik melirik
artikel yang beliau baca tersebut. Intonasi dan cara ayah membacanya membuat Tuty
kecil ingin segara bisa membaca juga.
Entah bagaimana. Begitu kuat dorongan saya untuk bisa membaca. Otak
kanak-kanak saya cepat menghafalkan apa yang beliau bacakan dengan
karakter-karakter (huruf) tertentu . Cara beliau membaca kata-perkata dengan
intonasi yang menarik, sungguh membantu
saya belajar membaca dalam waktu cukup singkat. Dengan cara saya sendiri.
Jadi, ketika masuk SD ( saya tidak tertarik masuk TK ), sudah cukup
lancar membaca. Walaupun baru faham, bahwa karakter-karakter yang saya hafalkan
tersebut disebut alphabeth. Nah, Kesukaan saya terhadap membaca tersebut, berpengaruh
dengan kemampuan motorik halus saya, dalam hal ini : menulis dengan baik. Di
tahun pertama SD, pelajaran menulis tidak terlalu menarik untuk saya. Untungnya, saya cepat menyadari bahwa yang
namanya sekolah itu tidak hanya berisi pelajaran membaca. Walaupun sampai,
lulus SD. Semua wali kelas memberikan pesan yang sama. Perbaiki tulisan !!
“Suka Menulis?”
Jika dikaitkan dengan konteks menulis
-yang membuat orang lain kesulitan
membaca tulisan saya, ingin rasanya memjawabnya
dengan pertanyaan seperti, bisakah pertanyaannya diganti? Namun, jika tulisan di kaitkan dengan contain.
Saya pasti akan menjawab bahwa saya suka. Walaupun dengan kemampuan menulis
yang sangat terbatas. Pun sampai saat ini.
Jadi, saya berterimakasih kepada teknologi, seperti komputer maupun HP.
Mereka ‘menyelamatkan’ saya dari effort keras menulis tangan. Saya juga
sangat berterimakasih kepada beberapa guru SMA saya, yang kerap memberi appreciate
atas isi tulisan saya. Seorang diantaranya bahkan menganjurkan saya kuliah
di bidang penulisan seperti jurnalistik.
Katanya, saya mempunyai bakat menjadi penulis (padahal saat itu ingin jadi ahli
botani ). Walaupun seperti tak menghiraukan saran tersebut, sesungguhnya sejak
itu saya rajin menulis. Namun untuk dibaca sendiri.
Sampai suatu hari saya masuk komunitas BPJ. Semula saya pikir ‘hanya’
sebatas komunitas penyuka jalan-jalan. Bersyukur saya masuk ke RT 7 yang ( kala
itu ) sangat aktif. Admin dan warganya, sangat mengapreasi bakat dan kemampuan
anggotanya. BPJpun memberi ruang untuk keminatan-keminatan tertentu, sehingga
selain WAG RT ada jga WAG Klub keminatan/hobby. So Meaningfull !!
Kalau sebelumnya, saya menulis untuk konsumsi pribadi. Sejak masuk RT tersebut,
saya kerap sharing tulisan berbentuk puisi. Termasuk duet menulis puisi dengan teman
sewarga yang sempat dibawakan pada peringatan HUT BPJ. Apalagi setelah masuk
Klub Kubbu. Saya belajar banyak tentang hiruk pikuk dunia penulisan juga buku. Selain
menulis puisi, saya juga belajar menulis non puisi, walaupun masih sebatas
mengikut kegiatan “Arisan Kubbu.” Many thanks. At All !!
Ya, salah satu genre penulisan favorit saya adalah menulis puisi. Bahkan
untuk satu puisi, saya bisa menghabiskan waktu untuk membaca 5 atau lebih buku
terlebih dahulu. Tak jarang, ditambah lagi dengan membaca dengan beberapa
artikel / jurnal. Walaupun buku/artikel/jurnal yang dibaca tersebut not related
dengan isi tulisan saya. Sebagian diantaranya, merupakan catatan khusus dari case-case
yang sedang / sudah saya tangani.
Termasuk untuk caption posting-an di Instagram. Yang pertama disiapkan adalah sang caption itu sendiri. Sebagai 'hasil' membaca beberapa bab dari beberapa buku. Picture justru pilihan berikutnya.
Lalu, adakah alasan lain sehingga menulis puisi begitu menarik untuk
saya? Karena jawabannya akan kembali panjang kali lebar -jika ada yang
penasaran- . Nanti saja saya ceritakan. Tersendiri.
“Lebih Suka Menulis atau Membaca?”
Ternyata. Maksudnya, biasanya. Walaupun saya sudah cerita ‘berjilid-jilid’
yang intinya seperti diatas. Namun tetap saja, ada yang penasaran. Meminta
saya, menjawab mana yang lebih disuka. Ya sudahlah. Saya akan menjawabnya secara
normatif. Bahwa saya makin suka membaca
karena saya sangat suka menulis. Bahwa saya jadi sangat suka menulis karena
saya sangat suka membaca.
Masih ada, pertanyaan
selanjutnya?
Senin, 29 November 2021
Framing These Moments
Apa kabar kita? Waktu itu….
Setelah cukup lama mereka-reka. Seperti apa kamu. Bagaimana aku menurut kamu. Namun anehnya, kita tidak pernah saling mencari tahu secara langsung. Kita menjadi tahu justru dari mereka alias teman-teman yang tidak tahu, bagaimana kita.
Akhirnya, kita bertemu. Sempat bersisian?
Ya, beberapa kali. Lalu, secara halus menghindar untuk menyapa langsung. Kecuali
:
“ Haah …lewat sini?!”
“Hati-hati, jalannya setapak, sempit dan licin!’
“Duuh, ternyata kamu rada nekat ya….”
Cukup satu moment. Telah menjawab semua pertanyaan, rasa penasaran dan kemungkinan yang ‘disepakati’ untuk tidak dikonfirmasi. Tanpa perlu diucapkan.
Kita lekas menyadari ternyata ada perbedaan yang signifikan, pun secara kasat mata. Cukup beberapa saat, untuk mengambil kesimpulan. Tidak usah berlanjut, karena tidak mau ribet atas perbedaan yang jelas terlihat.
Tidak ada kabar sebaliknya tentang kita. Sekarang.
Sesekali menyapa. Basa basi bertanya kabar. Sudah.
Sengaja tidak berkabar. Sebab, sudah dapat dipastikan. Akan mendengar ‘kuliah membosankan’ setara 6 SKS yang disampaikan dengan nada kekhawatiran. Aseli, pendapat ( atau ancaman , ya? ) yang ‘cukup mengganggu’ dengan tingkat ketidaklulusan di depan mata.
“ Hadehhh! Bisa ndak, sih...gak terus-terusan bikin orang deg-degan?”
“ Ngapain,motret kayak gini? Untuk apa coba sampai nantangin bahaya. Hujan lebat berangin.Ya, sudah pasti jarak pandang terbatas. Di tengah laut. Kapal oleng diterjang ombak. Jangan pikir saya enggak tahu. Kamu sendirian bertahan sampai kehujanan padahal teman-teman yang lain pilih, masuk ke dalam kapal!"
Sesekali, berkabar....
" Nah, bagusnya yang kek gini aja. Aman, nyaman, gak panas-panasan, gak keujanan juga."
"Terserah, seharian keasikan motret, sampai lupa gak kasih kabar, juga ndak apa-apa. Lega, rasanya!"
Memahami kekhawatiran orang-orang disekitar kita. Mencoba mencari jalan tengah, walaupun kadang setengah hati, bolehlah menjadi catatan tersendiri.
Foto tersebut, sering kali saya pandangi kembali. sebagai self reminder bagaimana mensikapi kepedulian orang-orang terdekat kita. Juga, agar menahan diri, jangan sampai takabur.
Iseng Berkabar
Kamu dan Dia, tersenyum simpul ketika ditunjukkan foto seorang teman yang sangat 'sadar kamera' dan memang keren gayanya saat di foto.
" Apalagi lihat foto yang seperti itu, swear gak mungkinlah saya complain ..."
" Hemmm.. modelnya, siapa ini? beneran teman kamu, kok saya belum kenal ya?
Ya. Bukan kamu tapi saya yang khawatir. Sekarang.
Jumat, 26 November 2021
No Limited Inspiration
Hari
terakhir sebagai rekan kerja, beberapa tahun lalu.
“Aku titip mbakku ini ya…. Dia, cepet banget alergian gitu.”
Walaupun kami tidak lagi menjadi teman kerja. Walaupun pada saat menjadi
teman kerja, di tempat kerja kami bersikap profesional. Namun, dalam berbagai
hal kami senantiasa saling mendukung. Seperti pesan di atas yang disampaikan
kepada karyawan baru yang menggantikan dia.
Uniknya. Kami mempunyai begitu banyak perbedaan. Seperti rentang usia, hobby ataupun keminatan,
religi, pendidikan, selera, kondisi sosial budaya dan masih banyak lagi. Namun, tidak pernah
sekalipun menjadikan kami bertengkar karena perbedaan-perbedaan tersebut.
Beberapa hari lalu.
“Mbak, kita bisa bersahabat seperti ini… justru karena kita berbeda
banget ya… “
Mungkin tanpa pernah ia sadari. Dialah
yang sering kali ‘menyadarkan’ saya tentang bagaimana menyikapi perbedaan tanpa mesti
mencari-cari persamaan. Seorang, sahabat muda usia yang mementingkan unsur
humanis dalam keseharian. Menunjukkan
ketulusannya yang luar biasa mengesankan.
Pada
hari sedang berduka cita.
“Mbak, sekarang aku jadi mama untuk adikku.”
Dialah, wanita tegar yang walaupun didera berbagai kondisi bahkan konflik
kehidupan namun berusaha menghadapinya dengan segala keterbatasan. Selalu
berkeyakinan bahwa akan ada titik terang atau jalan tengah ‘menundukkan’ suatu masalah.
Bahkan, sejak usia belasan sudah berinisiatif
untuk mengambil alih tanggung jawab
keluarga tanpa mengeluh atau meminta permakluman. Tanpa perlu, mengumbar ikhtiar
kerasnya.
Hari
itu, ketika satu beban berat bertambah lagi di pundaknya.
“Kalau aku menyerah, siapa yang akan ‘mengangkat’ aku, mbak?”
Bagaimana pengorbanan dan perjuangan hidupnya, membuat saya sering terkagum-kagum
sendiri. Seperti bagaimana dia dan keluarga menerima perlakuan yang kurang
pantas karena konsisi sosial ekonomi yang pas-pasan. Namun, ia tidak pernah, malu
mengakui hal tersebut. Sekali lagi, ia
tak hanya menunjukkan secara nyata bagaimana bersikap terhadap perbedaan. Namun
juga, bagaimana bersikap jika menghadapi perbedaan perlakuan.
Katanya
tentang hari-hari penuh aktivitas.
“Aku percaya Tuhan. Tuhan selalu bantu aku. Jadi, ini caraku untuk
bersyukur pada Tuhan.”
Ya, sering kali terbesit di pikiran. Bagaimana dia bisa begitu ‘sempurna’.
Very good looking, smart, taft, friendly & religious. Selalu punya
waktu untuk orang lain. Senantiasa menyempatkan diri untuk belajar hal-hal
baru. Berusaha berbagi kepada sesama, sebaik mungkin dan sebisa mungkin. Ditengah segudang kesibukan di depan matanya.
Again! Ia membuat saya kembali merenung dan Thanks
God. Betapa inspiring nya ia. Benar, Tuhan memang menghadirkan kita semua dengan sejumlah perbedaan.
Namun, mengapa -sebagian dari- kita mesti terjebak mempertentangkannya ? Padahal, tentu ada benang merahnya agar saling
melengkapi, sebagai salah satu cara kita untuk bersyukur kepadaNya.
Rabu, 24 November 2021
Something about Later ( are you Sure ? )
Sering kali kita mendengar kalimat pelipur lara seperti, tunggulah
sampai tiba saatnya. Atau, diminta untuk menahan sabar lebih lama lagi, karena
sekarang mungkin belum waktunya. Kalau bukan saat ini, lalu kapan? Ya itu… nanti !
Siang itu, (mantan) pasangan,
curhat dalam waktu yang hampir bersamaan….
Ketika seorang teman menjadi sahabat. Lalu karena semakin dekat lantas menyadari,
bahwa merasa ‘sesuatu’ lebih dari sahabat. Rindu yang berbeda. Keinginan untuk
kebersamaan yang lebih intens, dan seterusnya. Sampai di titik harapan; Apakah mungkin
dapat bersatu menjadi pasangan hidup? Tidak , saat tidak mungkin. Kalau
nanti ?... Yaa, nanti saja !
Walaupun dalam keseharian, tampaknya tidak ada kendala yang berarti bagi
mereka. Begitulah yang orang lain lihat. Namun ada beberapa prinsip yang tidak dapat
terjembatani. Bahkan, hal-hal tersebut,
telah disadari sejak awal hubungan. Pada diri masing-masing, tanpa penah
membahasnya secara khusus.
Seperti biasa. Lebih tepatnya, di kondisikan seperti ‘biasa-biasa’ disepakati
bahwa hubungan tersebut di suspend tanpa batas waktu. Untuk mempertimbangkan ulang, apakah mereka
akan lanjut terus dengan berbagai perbedaan prinsip atau lebih baik diakhiri daripada
bermasalah dikemudian hari. Menyesal?
Tidak ! Karena, dalam perpisahan yang telah dipersiapkan ‘seindah
mungkin’, sempat terlontar bahwa kalaupun di muka bumi ini tidak berjodoh. Yang
penting -semoga- dipersatukan di surga, nanti….
Sebelumnya, dengan nada bercanda, lagi-lagi ‘disepakati’ bahwa akan mencari
pasangan baru dengan prinsip yang sama. Jika ternyata, hubungan baru tersebut, kandas.
Waktu suspend diakhiri / apapun kondisinya, hubungan yang terjeda tersebut,
dilanjutkan. Simple way? Mungkinkah, akan seperti itu? tunggu saja nanti !
Setelah sekian lama. Keragu-raguan mulai mendominasi pikiran salah satu
pihak. Atas kemungkinan untuk menjalin kembali hubungan yang terjeda tersebut.
Bukan karena ada pasangan baru atau belum. Bukan karena, rindu yang menipis.
Bukan juga karena belum atau sudah menemukan jalan tengah atau titik terang menghadapi
beberapa perbedaan prinsip. Bukan pula karena masalah komunikasi. Terus,
bagaimana? Akan dijelaskan, tapi… Nanti dulu !
Mungkin, merasa telah cukup ‘menawar
waktu’. Pada satu kesempatan, salah satu pihak berinisiatif untuk menyampaikan keputusan
pribadi. Bahwa sudah ikhlas mengakhiri hubungan mereka secara ‘permanen’. Sudah
saatnya, menerima kenyataan. Menjalani jalan takdir masing-masing. Life must
be go on !
Tanpa disangka, salah satu pihak mencoba bertahan. Alias tidak bisa menerima hal tersebut. Dengan gusar dan menunjukkan kekecewaan yang
mendalam. Ia menolak keputusan sepihak tersebut, karena sangat yakin kalau sesungguhnya mereka
berjodoh. Walaupun perbedaan prinsip
menjadi aral melintang, memang sulit diabaikan.
Nanti-nantinya, akan ada solusi untuk itu. Setengah putus asa, berucap,
“ Memangnya kamu siapa, bisa yakin kalau tidak mungkin berjodoh!”
“ Kamu akan jadi pasangan saya, lihat saja, nanti !”
Selasa, 23 November 2021
Social Media Noted
Find & (Un)fine
Seorang teman. Teman Lama. Lama sekali tidak saling berkirim kabar. Tiba-tiba
menyapa dengan lugas. Tanpa banyak basa-basi. Dia ‘memprotes’ satu posting-an
di FB hal yang sangat sulit dibantah
maupun dijelaskan alasannya. Bahkan, dengan nada ‘memaksa’ meminta password
untuk menghapus posting-an tersebut. Padahal sang pemilik account,
sudah lama sekali tidak update ( dibaca : lupa ) Facebook dimaksud.
Akibat tidak terhapusnya picture yang diminta, silaturahmi yang
baru terjalin kembali, tidak berlanjut. Apakah mesti sampai seperti itu, ya?
Find & (without)Permission
Seorang kenalan. Kenal karena satu dua kali bertemu. Bertemupun tanpa
sempat ngobrol akrab. Dapat dipastikan, tidak sempat bertukar info account
media sosial. Hanya sekedar bertukar senyum. Sudah sampai disini? Oh belum !!
Kita memang tidak pernah bertemu lagi setelahnya, tidak juga saling
berkomunikasi walaupun bergabung di WA group suatu komunitas. Sampai suatu
ketika, tanpa disengaja membuka ( entah, mungkin memang sudah waktunya untuk
tahu ) koleksi photo yang ia posting di Instagram.
Oh My God! ternyata galeri foto di instagramnya, hanya berisi
foto-foto yang berasal dari instagram orang lain ( dibaca : saya ) yang diambil
tanpa izin atau menuliskan sumber aslinya. Direct message maupun japrian untuk
mempertanyakan hal tersebut tidak di gubris. Bahkan, terus posting karya-karya
orang lain, lagi di galerinya. Hemm, sebegitu sulitkah untuk meminta izin?
Find & Appreciate
Untuk beberapa orang. Ada kalanya caption atas suatu posting-an di Instagram,
Twitter, Status WA atau Facebook, menjadi lebih ‘menarik perhatian’ dari hal
utama yang di posting. Padahal beberapa caption awalnya dibuat
secara impulse. Namun tidak jarang beberapa orang justru memberi
komentar dengan serius. Bahkan, pernah sampai penasaran. Bertanya langsung maupun tidak langsung, ada apa dibalik
kata-kata tersebut. Di antaranya, bahkan bukan penutur Bahasa Indonesia maupun
Inggris. Sehingga untuk menjelaskannya, perlu perjuangan sendiri. Namun
menyenangkan rasanya.
Bahkan banyak yang memberikan ide menarik. Seperti bagaimana jika
dibukukan. Atau di buat dalam versi youtube, tik tok dst. Diantara mereka, juga
sempat mengingatkan akan rentannya karya kita di ‘curi’ pihak lain untuk kepentingan
/ keisengan pribadi. Bahkan, memberikan dukungan atau saran agar karya kita semakin baik. Terimakasih !
Mempunyai teman-teman baru dari berbagai sudut bumi, melalui karya kita
di aplikasi media sosial adalah sesuatu yang tidak dapat dilukiskan dengan
kata-kata. Bertemu kembali dengan
teman-teman lama lewat media sosial juga sesuatu yang membahagiakan. Berbagi cerita, pengalaman, kenangan dan
pengetahuan dari media sosial, semakin hari tampaknya menjadi keseharian kita. Tentang seberapa positif atau negatifnya, tergantung
bagaimana kita menggunakannya bukan menyalahgunakannya.