Jumat, 22 September 2023

January_6


Pijar tentangmu ada di suatu Januari
Pilar ingatan runduk tergenapi
Kerap terhampiri 
Titian langit sunyi


Rentangmu rentak memuai diri
Ranting kurun yang terjelajahi,  tunai
Meresapi kidung sesungguh puji
Pada lirik hujan berinai


Tiada alpa tersisa teringkar janji
Tanpa titik koma mengurung sejati
Sesempurna purnama melepas pagi
Setepat alur tak terarsir teratai


Terkatakah selanjutnya jika terbarui
Tersampaikah di waktu yang nanti
Senandung jiwa pewarta hati
Bukan memantik hari seolah terhenti






Sabtu, 05 Maret 2022

Kita dan Komunitas : Penguatan Identitas Diri, Identitas Sosial, atau ?

 


 

“Ikutan komunitas, ngapain juga sih?”

Ketika kita bergabung dalam suatu komunitas, biasanya ada beberapa pertanyaan ‘klasik’ yang kerap terlontar. Mengapa disebut pertanyaan ‘klasik’ ? Antara lain karena -bahkan- sebelum ditanyakan, kita sering kali telah ‘mempersiapkan’ jawabannya.  Mengingat, hal-hal yang ditanyakan begitu umum….

Sebagian dari kita, sudah menduga akan ditanyakan hal-hal seperti, untuk apa bergabung di suatu komunitas.  Mengapa tertarik bergabung di komunitas tersebut atau mengapa ‘harus’ komunitas tersebut, bukan komunitas lainnya.  Siapa yang mengajak atau apa yang kita harapkan dengan bergabung di suatu komunitas. Lalu, kontribusi apa yang bisa kita berikan untuk kemajuan komunitas.


Mungkin ada juga yang penasaran, kenapa kita bergabung di beberapa komunitas sekaligus. Bahkan ada juga yang mempertanyakan mengapa mengikuti lebih dari satu komunitas sejenis. Serta sederet pertanyaan selanjutnya.   Lalu kitapun punya ‘daftar jawaban’ yang normatif, argumentatif maupun sekenanya. Demikian juga, jika kita memutuskan keluar dari suatu komunitas. 

Pertanyaan – pertanyaan tersebut, berasal dari internal maupun eksternal komunitas. Bahkan tidak jarang, dari diri kita sendiri.  Tidak bisa dipungkiri juga, terkadang tidak ada alasan subjektif maupun objektif yang pas atas bergabung atau keluarnya kita dari suatu komunitas.  Namun, mestikah pihak lain tahu alasan kita.

 

“Ikutan komunitas, ngaruhnya apa?”

Sedangkan dalam pandanganpsikologis akan ada pertanyaan ‘menarik’ lainnya.  Misalnya,   apakah keikutsertaan kita pada suatu komunitas terkait dengan penguatan identitas diri ( secara personal ) atau justru penguatan identitas sosial kita dalam konteks komunal.  Sejauh mana peran komunitas yang diharapkan oleh individu? Sejauh mana peran individual dalam penguatan suatu komunitas?

Dari berbagai literatur, dapat dikatakan bahwa komunitas pada hakikatnya merupakan kumpulan individu yang memiliki tujuan serupa.  Dengan bergabung di dalam suatu komunitas, dapat membantu individu mencapai suatu tujuan-yang sulit dicapai secara individual. Seperti bergabungnya individu di komunitas jalan-jalan.


Tentunya bukan semata-mata alasan materi ataupun ‘senasib seperjuangan’ dalam perjalanan. Namun kebersamaan tersebut dapat berlanjut menjadi hubungan yang lebih intens secara pribadi, emngembangkan hobby, minat maupun bakat atau sebagai pemenuhan kebutuhan sosial maupun bisnis dan seterusnya. Pernah mengalami ?   Tentunya tidak terlepas dari pengalaman-pengalaman yang juga tidak mengenakkan selama berkomunitas, yang ‘menggagalkan’ tujuan tersebut.

Disadari atau tidak. Diniatkan atau bukan. Ditunjukkan atau sebaliknya. Di dalam berkomunitas,  sebagian dari kita secara signifikan  berusaha menunjukkan Identitas diri. Bahkan menguatkan Identitas diri dengan berusaha menarik pengakuan dari sesama anggota kelompok. Seperti, mempunyai julukan khas yang identik dengan diri kita. Citra tertentu yang menjadikannya berbeda dari anggota komunitas lainnya.


Sebagian yang lain, sesama anggota komunitas turut mendorong kita untuk menunjukkan identitas diri kita sampai eksistensi diri. Bahkan didapuk menjadi ‘pimpinan’ secara informal atau berdasarkan kesepakatan bersama.  Penguatan identitas diri yang terkadang unik, belum tentu kita dapati di dunia kerja maupun tingkat pendidikan formal.

Dalam konteks tulisan ini, identitas diri dimaksudkan sebagai kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesis dari semua aspek terkait konsep diri sebagai suatu kesatuan  yang utuh ( Stuart dan Sundeen, 1991 ). Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, dalam hal perasaan diri berharga, mempunyai kemampuan tertentu bahkan penguasaan terhadap kehendak diri. Bisa juga,  identitas diri tersebut justru disematkan atau mendapat ‘justify’ oleh sesama anggota komunitas.


Sementara itu,  sebagian lainnya justru ingin menguatkan identitas sosialnya dengan jalan berkomunitas. Identitas sosial dalam hal ini sebagai bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu komunitas yang diiringi oleh signifikansi nilai dan emosi keanggotaan tersebut ( Tajfel, 1982 ) . Jadi, identitas sosial berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli serta rasa bangga seseorang atas keangotaannya di dalam komunitas tertentu. Terlepas dari berperan penting atau tidaknya kita dalam komunitas tersebut.


Jika disederhanakan, dapatlah dikatakan bahwa apabila kita bergabung dalam komunitas yang well known maka membawa kebanggaan tersendiri bagi identitas sosial kita.  Individu tersebut bahkan bisa sampai memiliki kelekatan emosional. Misalnya, akan turut membela identitas komunitasnya jika ada yang mencoba mencorengnya. Seru, ya?

 

“Ikutan komunitas? Ya untuk ikut-ikutan aja…”

Ups!! Apapun jawaban kita atas pertanyaan-pertanyaan tadi, sungguh tergantung  pada kebutuhan, atau keingintahuan atau  passion bahkan keisengan kita atau apapun itu.  Terserah,  karena kita termasuk saya, mempunyai beragam jawaban yang normatif, unik atau tertentu. Namun,  yang perlu menjadi catatan adalah jangan sampai bergabungnya kita tersebut ternyata sia-sia. Baik bagi diri kita maupun komunitas itu sendiri.  Namun, kalau boleh saya penasaran (sekali-sekali boleh kan… ), ada alasan khusus kamu bergabung dalam suatu komunitas ?

 

 

 

____________________

Inspiring Books

Faturochman & Tabah Aris Nurjaman.  2018.  Psikologi Relasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Harmaini dkk.  2016. Psikologi Kelompok.  Jakarta : Rajawali Pers

Komaruddin Hidayat & Khiruddin Bashori.  2016.  Psikologi Sosial.  Jakarta : Erlangga

Selasa, 30 November 2021

Started Because...


“Suka Membaca?”

Walaupun sudah terlalu sering mendengar pertanyaan di atas, saya tidak pernah merasa bosan untuk menjawabnya. Pertanyaan dengan dua kata tersebut, dengan sangat antusias akan saya jawab secara panjang lebar.  Tanpa menghiraukan, apakah sang penanya benar-benar tertarik dengan alasan saya gemar membaca atau sekedar mengisi percakapan. Jadi begini…

Ya ! Saya sungguh sangat suka membaca. Bahkan sebelum masuk SD. Masih segar diingatan. Saat itu, sebelum berangkat kerja, biasanya ayah kami membaca koran terlebih dahulu. Melihat hal tersebut,  sayapun segera duduk di sebelahnya. Bersiap mendengarkan beliau membaca beberapa artikel di harian pagi langganan kami tersebut atau saya menunjuk satu berita untuk dibacakan.

Mengingat kami mempunyai kegemaran yang sama, yaitu sepak bola ( ini juga jawaban atas pertanyaan bagaimana saya sampai ‘keracunan’ sepak bola ). Maka, artikel itulah yang sering kali saya minta ayah  bacakan untuk saya.  Saat beliau membaca, saya asik mendengarkan sambil  bola mata saya bolak-balik melirik artikel yang beliau baca tersebut. Intonasi dan cara ayah membacanya membuat Tuty kecil ingin segara bisa membaca juga.

Entah bagaimana. Begitu kuat dorongan saya untuk bisa membaca. Otak kanak-kanak saya  cepat  menghafalkan apa yang beliau bacakan dengan karakter-karakter (huruf) tertentu . Cara beliau membaca kata-perkata dengan intonasi yang menarik,  sungguh membantu saya belajar membaca dalam waktu cukup singkat. Dengan cara saya sendiri.

Jadi, ketika masuk SD ( saya tidak tertarik masuk TK ), sudah cukup lancar membaca. Walaupun baru faham, bahwa karakter-karakter yang saya hafalkan tersebut disebut alphabeth. Nah,  Kesukaan saya terhadap membaca tersebut, berpengaruh dengan kemampuan motorik halus saya, dalam hal ini : menulis dengan baik. Di tahun pertama SD, pelajaran menulis tidak terlalu menarik untuk saya.  Untungnya, saya cepat menyadari bahwa yang namanya sekolah itu tidak hanya berisi pelajaran membaca. Walaupun sampai, lulus SD. Semua wali kelas memberikan pesan yang sama. Perbaiki tulisan !!

 

“Suka Menulis?”

Jika dikaitkan dengan konteks  menulis -yang  membuat orang lain kesulitan membaca tulisan saya,  ingin rasanya memjawabnya dengan pertanyaan seperti, bisakah pertanyaannya diganti?  Namun, jika tulisan di kaitkan dengan contain. Saya pasti akan menjawab bahwa saya suka. Walaupun dengan kemampuan menulis yang sangat terbatas. Pun sampai saat ini.

Jadi, saya berterimakasih kepada teknologi, seperti komputer maupun HP. Mereka ‘menyelamatkan’ saya dari effort keras menulis tangan. Saya juga sangat berterimakasih kepada beberapa guru SMA saya, yang kerap memberi appreciate atas isi tulisan saya. Seorang diantaranya bahkan menganjurkan saya kuliah di  bidang penulisan seperti jurnalistik. Katanya, saya mempunyai bakat menjadi penulis (padahal saat itu ingin jadi ahli botani ). Walaupun seperti tak menghiraukan saran tersebut, sesungguhnya sejak itu saya rajin menulis. Namun untuk dibaca sendiri.

Sampai suatu hari saya masuk komunitas BPJ. Semula saya pikir ‘hanya’ sebatas komunitas penyuka jalan-jalan. Bersyukur saya masuk ke RT 7 yang ( kala itu ) sangat aktif. Admin dan warganya, sangat mengapreasi bakat dan kemampuan anggotanya. BPJpun memberi ruang untuk keminatan-keminatan tertentu, sehingga selain WAG RT ada jga WAG Klub keminatan/hobby. So Meaningfull !!

Kalau sebelumnya, saya menulis untuk konsumsi pribadi. Sejak masuk RT tersebut, saya kerap sharing tulisan berbentuk puisi. Termasuk duet menulis puisi dengan teman sewarga yang sempat dibawakan pada peringatan HUT BPJ. Apalagi setelah masuk Klub Kubbu. Saya belajar banyak tentang hiruk pikuk dunia penulisan juga buku. Selain menulis puisi, saya juga belajar menulis non puisi, walaupun masih sebatas mengikut kegiatan “Arisan Kubbu.”   Many thanks. At All !!

Ya, salah satu genre penulisan favorit saya adalah menulis puisi. Bahkan untuk satu puisi, saya bisa menghabiskan waktu untuk membaca 5 atau lebih buku terlebih dahulu. Tak jarang, ditambah lagi dengan membaca dengan beberapa artikel / jurnal. Walaupun buku/artikel/jurnal yang dibaca tersebut not related dengan isi tulisan saya. Sebagian diantaranya, merupakan catatan khusus dari case-case yang sedang / sudah saya tangani.

Termasuk  untuk caption posting-an di Instagram. Yang pertama disiapkan adalah sang caption itu sendiri. Sebagai 'hasil'  membaca beberapa bab dari beberapa buku. Picture justru pilihan berikutnya. 

Lalu, adakah alasan lain sehingga menulis puisi begitu menarik untuk saya? Karena jawabannya akan kembali panjang kali lebar -jika ada yang penasaran- . Nanti saja saya ceritakan. Tersendiri.

 

“Lebih Suka Menulis atau Membaca?”

Ternyata. Maksudnya, biasanya. Walaupun saya sudah cerita ‘berjilid-jilid’ yang intinya seperti diatas. Namun tetap saja, ada yang penasaran. Meminta saya, menjawab mana yang lebih disuka. Ya sudahlah. Saya akan menjawabnya secara normatif.  Bahwa saya makin suka membaca karena saya sangat suka menulis. Bahwa saya jadi sangat suka menulis karena saya sangat suka membaca.

 

Masih ada, pertanyaan selanjutnya? 


Senin, 29 November 2021

Framing These Moments

 

Apa kabar kita? Waktu itu….

Setelah cukup lama mereka-reka.  Seperti apa kamu. Bagaimana aku menurut kamu. Namun anehnya,  kita tidak pernah saling mencari tahu secara langsung.  Kita menjadi tahu justru dari mereka alias teman-teman yang tidak tahu, bagaimana kita.  

Akhirnya, kita bertemu.  Sempat bersisian? Ya, beberapa kali. Lalu, secara halus menghindar untuk menyapa langsung. Kecuali :

  “ Haah …lewat sini?!”

“Hati-hati, jalannya setapak, sempit dan licin!’

“Duuh, ternyata kamu rada nekat ya….”

Cukup satu moment. Telah menjawab semua pertanyaan, rasa penasaran dan kemungkinan yang ‘disepakati’ untuk tidak dikonfirmasi. Tanpa perlu diucapkan.  

Kita lekas menyadari ternyata ada perbedaan yang signifikan, pun secara kasat mata. Cukup beberapa saat, untuk mengambil kesimpulan. Tidak usah berlanjut, karena tidak mau ribet atas perbedaan yang jelas terlihat.

Tidak ada kabar sebaliknya tentang kita. Sekarang. Sesekali menyapa. Basa basi bertanya kabar. Sudah.


 Jauh sebelum itu, tentang kami ( bukan kita )

Tentang Kepulauan Maluku. Baik Maluku maupun Maluku Utara yang sangat 'menggoda' untuk di jepret. Mollucas never ending to take picture.

Sengaja tidak berkabar.  Sebab, sudah dapat dipastikan. Akan mendengar ‘kuliah membosankan’ setara 6 SKS  yang disampaikan dengan nada  kekhawatiran. Aseli, pendapat ( atau ancaman , ya? )  yang ‘cukup mengganggu’  dengan tingkat ketidaklulusan di depan mata.

“  Hadehhh! Bisa ndak, sih...gak terus-terusan bikin orang deg-degan?”

“  Ngapain,motret kayak gini? Untuk apa coba sampai nantangin bahaya. Hujan lebat berangin.Ya, sudah pasti jarak pandang terbatas. Di tengah laut. Kapal oleng diterjang  ombak. Jangan pikir saya enggak tahu.  Kamu sendirian bertahan sampai kehujanan padahal  teman-teman yang lain pilih, masuk ke dalam kapal!"


Alasan yang disampaikan, jelas dapat saya mengerti. Tapi moment se amazing ini. Sulit dilewatkan begitu saja. Hanya sekarang, sudah lebih berhati-hati. Jika kondisinya tidak memungkinkan untuk diabadikan lewat kamera, cukuplah diabadikan oleh mata lalu menyimpannya dalam kenangan.

Sesekali, berkabar....

   " Nah, bagusnya yang kek gini aja. Aman, nyaman, gak panas-panasan, gak keujanan juga."

"Terserah, seharian keasikan motret, sampai lupa gak kasih kabar,  juga ndak apa-apa. Lega, rasanya!"     

Memahami kekhawatiran orang-orang disekitar kita. Mencoba mencari jalan tengah, walaupun kadang setengah hati, bolehlah menjadi catatan tersendiri.  

Foto tersebut, sering kali saya pandangi kembali.  sebagai self reminder bagaimana mensikapi kepedulian orang-orang terdekat kita.  Juga, agar menahan diri, jangan sampai takabur.

Iseng Berkabar 

Kamu dan Dia, tersenyum simpul ketika ditunjukkan foto seorang teman yang sangat 'sadar kamera' dan memang keren gayanya saat di foto.

 " Apalagi  lihat foto yang seperti itu,  swear gak mungkinlah saya complain ..."

"  Hemmm.. modelnya, siapa ini? beneran teman kamu, kok saya belum kenal ya?



Ya. Bukan kamu tapi saya yang khawatir. Sekarang.










Jumat, 26 November 2021

No Limited Inspiration

 

Hari terakhir sebagai rekan kerja, beberapa tahun lalu.

“Aku titip mbakku ini ya…. Dia, cepet banget alergian gitu.”

 

Walaupun kami tidak lagi menjadi teman kerja. Walaupun pada saat menjadi teman kerja, di tempat kerja kami bersikap profesional. Namun, dalam berbagai hal kami senantiasa saling mendukung. Seperti pesan di atas yang disampaikan kepada karyawan baru yang menggantikan dia.

Uniknya. Kami mempunyai begitu banyak perbedaan.  Seperti rentang usia, hobby ataupun keminatan, religi, pendidikan, selera, kondisi sosial budaya  dan masih banyak lagi. Namun, tidak pernah sekalipun menjadikan kami bertengkar karena perbedaan-perbedaan tersebut.

              Beberapa hari lalu.

“Mbak, kita bisa bersahabat seperti ini… justru karena kita berbeda banget ya… “

 

Mungkin tanpa pernah ia sadari.  Dialah yang sering kali ‘menyadarkan’ saya tentang  bagaimana menyikapi perbedaan tanpa mesti mencari-cari persamaan. Seorang, sahabat muda usia yang mementingkan unsur humanis  dalam keseharian. Menunjukkan ketulusannya yang luar biasa mengesankan.  

                                           Pada hari sedang berduka cita.  

“Mbak, sekarang aku jadi mama untuk adikku.”

                                                                                     

Dialah, wanita tegar yang walaupun didera berbagai kondisi bahkan konflik kehidupan namun berusaha menghadapinya dengan segala keterbatasan. Selalu berkeyakinan bahwa akan ada titik terang atau jalan tengah ‘menundukkan’ suatu masalah.  Bahkan, sejak usia belasan sudah berinisiatif untuk  mengambil alih tanggung jawab keluarga tanpa mengeluh atau meminta permakluman. Tanpa perlu, mengumbar ikhtiar kerasnya.

Hari itu, ketika satu beban berat bertambah lagi di pundaknya.

“Kalau aku menyerah, siapa yang akan ‘mengangkat’ aku, mbak?”

 

Bagaimana pengorbanan dan perjuangan hidupnya, membuat saya sering terkagum-kagum sendiri. Seperti bagaimana dia dan keluarga menerima perlakuan yang kurang pantas karena konsisi sosial ekonomi yang pas-pasan. Namun, ia tidak pernah, malu mengakui hal tersebut.  Sekali lagi, ia tak hanya menunjukkan secara nyata bagaimana bersikap terhadap perbedaan. Namun juga, bagaimana bersikap jika menghadapi perbedaan perlakuan.

Katanya tentang hari-hari penuh aktivitas.

“Aku percaya Tuhan. Tuhan selalu bantu aku. Jadi, ini caraku untuk bersyukur pada Tuhan.”

 

Ya, sering kali terbesit di pikiran. Bagaimana dia bisa begitu ‘sempurna’. Very good looking, smart, taft, friendly & religious. Selalu punya waktu untuk orang lain. Senantiasa menyempatkan diri untuk belajar hal-hal baru. Berusaha berbagi kepada sesama, sebaik mungkin dan sebisa mungkin.  Ditengah segudang kesibukan di depan matanya.

Again!  Ia membuat saya kembali merenung dan Thanks God. Betapa inspiring nya ia. Benar,  Tuhan memang  menghadirkan kita semua dengan sejumlah perbedaan. Namun, mengapa -sebagian dari- kita mesti terjebak  mempertentangkannya ?  Padahal, tentu ada benang merahnya agar saling melengkapi,  sebagai  salah satu cara kita untuk bersyukur kepadaNya.

 

Rabu, 24 November 2021

Something about Later ( are you Sure ? )

 

Sering kali kita mendengar kalimat pelipur lara seperti, tunggulah sampai tiba saatnya. Atau, diminta untuk menahan sabar lebih lama lagi, karena sekarang mungkin belum waktunya. Kalau bukan saat ini, lalu kapan?  Ya itu… nanti !

Siang itu,  (mantan) pasangan, curhat dalam waktu yang hampir bersamaan….

Ketika seorang teman menjadi sahabat.  Lalu karena semakin dekat lantas menyadari, bahwa merasa ‘sesuatu’ lebih dari sahabat. Rindu yang berbeda. Keinginan untuk kebersamaan yang lebih intens, dan seterusnya. Sampai di titik harapan; Apakah mungkin dapat bersatu menjadi pasangan hidup? Tidak , saat tidak mungkin. Kalau nanti ?... Yaa, nanti saja !

Walaupun dalam keseharian, tampaknya tidak ada kendala yang berarti bagi mereka. Begitulah yang orang lain lihat. Namun ada beberapa prinsip yang tidak dapat terjembatani.  Bahkan, hal-hal tersebut, telah disadari sejak awal hubungan. Pada diri masing-masing, tanpa penah membahasnya secara khusus.

Seperti biasa. Lebih tepatnya, di kondisikan seperti ‘biasa-biasa’ disepakati bahwa hubungan tersebut di suspend tanpa batas waktu.  Untuk mempertimbangkan ulang, apakah mereka akan lanjut terus dengan berbagai perbedaan prinsip atau lebih baik diakhiri daripada bermasalah dikemudian hari. Menyesal?

Tidak ! Karena, dalam perpisahan yang telah dipersiapkan ‘seindah mungkin’, sempat terlontar bahwa   kalaupun di muka bumi ini tidak berjodoh. Yang penting -semoga- dipersatukan di surga, nanti….   

Sebelumnya, dengan nada bercanda, lagi-lagi ‘disepakati’ bahwa akan mencari pasangan baru dengan prinsip yang sama. Jika ternyata, hubungan baru tersebut, kandas. Waktu suspend diakhiri / apapun kondisinya, hubungan yang terjeda tersebut, dilanjutkan.  Simple way?  Mungkinkah, akan seperti itu?  tunggu saja nanti !

Setelah sekian lama. Keragu-raguan mulai mendominasi pikiran salah satu pihak. Atas kemungkinan untuk menjalin kembali hubungan yang terjeda tersebut. Bukan karena ada pasangan baru atau belum. Bukan karena, rindu yang menipis. Bukan juga karena belum atau sudah menemukan jalan tengah atau titik terang menghadapi beberapa perbedaan prinsip. Bukan pula karena masalah komunikasi. Terus, bagaimana? Akan dijelaskan, tapi… Nanti dulu !

 Mungkin, merasa telah cukup ‘menawar waktu’. Pada satu kesempatan, salah satu pihak berinisiatif untuk menyampaikan keputusan pribadi. Bahwa sudah ikhlas mengakhiri hubungan mereka secara ‘permanen’. Sudah saatnya, menerima kenyataan. Menjalani jalan takdir masing-masing. Life must be go on !


Tanpa disangka, salah satu pihak mencoba bertahan. Alias  tidak bisa menerima hal tersebut.  Dengan gusar dan menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Ia menolak keputusan sepihak tersebut,  karena  sangat yakin kalau sesungguhnya mereka berjodoh.  Walaupun perbedaan prinsip menjadi  aral melintang, memang sulit diabaikan. Nanti-nantinya, akan ada solusi untuk itu. Setengah putus asa, berucap,

“ Memangnya kamu siapa, bisa yakin kalau tidak mungkin berjodoh!”

“ Kamu akan jadi pasangan saya, lihat saja, nanti !”

 

Selasa, 23 November 2021

Social Media Noted

 

Find & (Un)fine

Seorang teman. Teman Lama. Lama sekali tidak saling berkirim kabar. Tiba-tiba menyapa dengan lugas. Tanpa banyak basa-basi. Dia ‘memprotes’ satu posting-an di FB  hal yang sangat sulit dibantah maupun dijelaskan alasannya. Bahkan, dengan nada ‘memaksa’ meminta password untuk menghapus posting-an tersebut. Padahal sang pemilik account, sudah lama sekali tidak update ( dibaca : lupa )  Facebook dimaksud.

Akibat tidak terhapusnya picture yang diminta, silaturahmi yang baru terjalin kembali, tidak berlanjut. Apakah mesti sampai seperti itu, ya?

 

Find & (without)Permission

Seorang kenalan. Kenal karena satu dua kali bertemu. Bertemupun tanpa sempat ngobrol akrab. Dapat dipastikan, tidak sempat bertukar info account media sosial. Hanya sekedar bertukar senyum. Sudah sampai disini? Oh belum !!

Kita memang tidak pernah bertemu lagi setelahnya, tidak juga saling berkomunikasi walaupun bergabung di WA group suatu komunitas. Sampai suatu ketika, tanpa disengaja membuka ( entah, mungkin memang sudah waktunya untuk tahu ) koleksi photo yang ia posting di Instagram.

Oh My God! ternyata  galeri foto di instagramnya, hanya berisi foto-foto yang berasal dari instagram orang lain ( dibaca : saya ) yang diambil tanpa izin atau menuliskan sumber aslinya.  Direct message maupun japrian untuk mempertanyakan hal tersebut tidak di gubris. Bahkan, terus posting karya-karya orang lain, lagi di galerinya. Hemm, sebegitu sulitkah untuk meminta izin?

 

Find & Appreciate

Untuk beberapa orang.  Ada kalanya caption atas suatu posting-an di Instagram, Twitter, Status WA atau Facebook, menjadi lebih ‘menarik perhatian’ dari hal utama yang di posting. Padahal beberapa caption awalnya dibuat secara impulse. Namun tidak jarang beberapa orang justru memberi komentar dengan serius. Bahkan, pernah sampai penasaran. Bertanya langsung  maupun tidak langsung, ada apa dibalik kata-kata tersebut. Di antaranya, bahkan bukan penutur Bahasa Indonesia maupun Inggris. Sehingga untuk menjelaskannya, perlu perjuangan sendiri. Namun menyenangkan rasanya.

Bahkan banyak yang memberikan ide menarik. Seperti bagaimana jika dibukukan. Atau di buat dalam versi youtube, tik tok dst. Diantara mereka, juga sempat mengingatkan akan rentannya karya kita di ‘curi’ pihak lain untuk kepentingan / keisengan pribadi. Bahkan, memberikan dukungan atau saran agar karya kita semakin baik. Terimakasih !

Mempunyai teman-teman baru dari berbagai sudut bumi, melalui karya kita di aplikasi media sosial adalah sesuatu yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.  Bertemu kembali dengan teman-teman lama lewat media sosial juga sesuatu yang membahagiakan.  Berbagi cerita, pengalaman, kenangan dan pengetahuan dari media sosial, semakin hari tampaknya menjadi keseharian kita.  Tentang seberapa positif atau negatifnya, tergantung bagaimana kita menggunakannya bukan menyalahgunakannya.