“Hidup berjalan cepat. Jika kita tidak berhenti dan sekali-kali meneliti sekeliling, banyak hal yang akan kita lewatkan.” ( Ferris Bueller )
Sebagian dari kita, termasuk saya kerap kali dihadapkan pada kondisi injury time 1 ) setelah deadline, saat mengerjakan suatu hal. Lalu diserang panik! Seakan waktu yang kita miliki, lebih singkat sepersekian jam dibandingkan waktu yang dimiliki oleh orang lain.
Sialnya, semakin mendekati batas waktu, kita justru melakukan berbagai blunder 2) yang kian menghambat penuntasan tanggung jawab tersebut. Saat berhadapan dengan kondisi segenting itu tidak jarang kita merasa…ufff untuk bernafas saja kok sulit ! Sungguhkan waktu yang membuat kita nerveous ‘terjebak’ dalam kondisi under pressure, hopeless lalu stress sendiri? Apa yang terjadi?
Secara alamiah pada saat itu, focus di otak kita beralih dari hal yang ada di hadapan kita menjadi tentang diri kita. Otak kita mempersempit filter menjadi -seperti- apakah mungkin pekerjaan tersebut mampu kita selesaikan? Jika kegamangan tersebut berlangsung dalam beberapa detik, masih dianggap sebagai hal yang wajar / dapat di toleransi oleh memori kita.
Diharapkan sesegera mungkin, kita kembali focus pada cara atau bagaimana agar pekerjaan tersebut dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Beberapa hal sederhana atau relaksasi dapat kita lalukan. Misalnya?
Kita dapat mengambil sedikit waktu menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Atau beranjak sebentar dari tempat duduk kita misalnya untuk peregangan, mengambil cemilan dan minum. Atau bisa juga mengerjakan hal lain sebagai pengalihan sesaat.
Menurut Christopher Willard 3), pada fase under pressure seperti itu, nafas kita memang tercekat. Reaksi tubuh kita ikut tegang bersama pikiran dan hati. Sedikit saja ada ‘gangguan’ kita mudah ‘meledak’. Mengapa?
Sebab otak kita dalam posisi siaga serta ‘menutup’ hal-hal lain yang -mungkin- minta perhatian kita. Di saat seperti itu, hanya ‘signal bahaya’ yang tetap terjaga di bagian otak ( yang disebut amigdala ). Sedangkan bagian otak “korteks prefontal” tempat pemikiran-pemikiran terbaik berasal, justru -tanpa sadar- kita blokir.
Bad News ! Kondisi ‘terblokir’ inilah yang dapat berujung pada perasaan hopeless. Seolah langkah atau ide kita berhenti di tempat. Atau hanya di jalan buntu yang tampak dihadapkan /pikiran kita yang jadi penghalang untuk melanjutkan atau menuntaskan tanggung jawab kita. Stress ! Stress! Stress!!
Pada dasarnya, stress merupakan respond manusiawi yang wajar atas kekhawatiran kita tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sebelum atau tepat pada waktunya. Baik itu kekhawatiran yang nyata maupun di batas persepsi kita. Sering kali, sejak awal kita ‘terjebak’ oleh persepsi kita, bahwa pekerjaan tersebut ‘mustahil’ dikerjakan dengan baik dengan tepat waktu.
Kita berharap akan adanya Extra Time4), penundaan atau dispensasi waktu.
Bisa jadi dengan bantuan tambahan, penundaan maupun dispensasi waktu, hal yang membebani pikiran kita tersebut, akhirnya dapat juga diselesaikan. Lega rasanya.
Namun, di lain kesempatan bisa jadi kita kembali menghadapi kondisi serupa. Bukan hanya satu tanggung jawab dan beberapa tanggung jawab sekaligus dengan tenggat waktu yang ‘tanpa ampun’. Lalu ?
Ada ruang di antara stimulus dan respon. Di dalam ruang itu terdapat kebebasan dan kekuatan kita untuk memilih respon kita. Dalam respon kita terdapat pertumbuhan dan perkembangan kita (Anonim).
Terlepas dari penilaian berhasil atau tidaknya hal yang kita kerjakan -sesunguhnya seiring kelegaan tersebut-memori kita menambah satu file penting. Yaitu mengenai bagaimana kita merespon suatu stres sehingga dapat keluar dari kondisi tersebut. File positif yang dapat membantu kita atau orang lain. Caranya?
Pertama-tama, sempatkan sejenak selepasnya (masalah tadi) untuk merasakan ulang / memaknai emosi yang kita rasakan sejak puncak kegamangan sampai titik balik hingga akhirnya. Apa saja yang tadi terlintas atau berkecamuk dalam pikiran kita. Apakah sebenarnya, sebelumnya kita pernah mengalami hal serupa atau bagaimana jika mendadak kita kembali dalam kondisi tersebut di kemudian hari. Apa yang terlintas di pikiran kita sehingga mendapat ide atau suatu tindakan di saat tenggat waktu.
Satu hal lagi, terpenting untuk ucapkan Thanks God! Kita berhasil melewati hal waktu tersebut.
Kemudian, congratulation and smile Up! jangan lupa untuk memberikan penghargaan dan kata selamat untuk diri kita.
Plus… segera ucapkan terimakasih untuk pihak-pihak yang membantu kita. Juga ucapkan permohonan maaf, jika pada saat tadi, ada kata-kata atau perilaku kita yang sempat membuat orang lain kena imbas atas rasa nerveous kita.
Jadi dalam hal ini, ternyata bukan waktu yang tidak bersahabat dengan kita. Tidaklah tepat utuk menyalahkan sang waktu kalau terasa tidak berpihak atas kesusahan memenuhi deadline. In the fact, waktu tidak pernah berniat untuk mendahului atau meninggalkan kita. Kitalah atau tuntutan tanggung jawab yang membuat batasan-batasan akan waktu.
Sekarang, mari bersahabat dengan waktu mumpung kita masih punya waktu untuk melatih memori kita memberikan respond yang tepat dan cepat menghadapi stres. Caranya?
To be countinue
----------------------------
1) Injury Time, istilah dalam olahraga sepak bola. Yaitu perpanjangan waktu dengan alasan yang sesuai The Law of The Game IFAB. Dalam tulisan ini, diharfiahkan sebagai kebijakan tambahan waktu setelah tenggat waktu (deadline)
2) Blunder, istilah dalam olah raga sepak bola. Yaitu kesalahan fatal yang disebabkan oleh kecerobohan yang tidak diperhitungkan dahulu.
3) Growing up Mindful, Christopher Willard, Benteng Mustaka. 2020. Terj.
4) Extra Time, istilah dalam olah raga sepak bola. Yaitu perpanjangan waktu setelah pertandingn dalam normal waktu berakhir seri. Dalam tulisan ini, diharfiahkan sebagai tambahan waktu setelah deadline dan injury time.