Sabtu, 08 Desember 2018

Hand's Ball....


Getah cakrawala meracik pesan terbisu
Tentang risau gerimis terkunci debu 
Jatuh kaku menembus kerak kemarau 
Seperti duka laut kehilangan biru 



Angin menyeret daun menjauhi ranting 
Kering belukar berpagut bara di penghujung 
Menikam sisa siang yang terpasung 
Seperti luka telaga kehilangan bening 




Perih badai terkelupas membakar kulit 
Mencari bulir keringat di tanah keriput 
Hingga titian pelangi tersihir sesat 
Seperti murung danau kehilangan kabut 

Semesta tercabik ruam bencana
 Cadas meradang raga menjentik jiwa
Mengerang tak sanggup menganulir dosa 
Seperti muram samudera kehilangan makna

Pada tangan tak berfikir dan kaki tak berhati
Terpuaskah anarki dengan menggadang alibi ?
Tersangkut derit keranda getas terakhiri
Seperti lara perigi kehilangan laras diri

Siapa?
Kita?

38 komentar:

  1. Pada mereka jiwa ini menyerah
    Puas hanya dengan jempol maya dan kata-kata indah.
    Banyak yang lupa, siapakah diri ini
    Sebenarnya?

    BalasHapus
  2. Kak Maria, dilanjut atuh puisi kerennya.... Terimakasih turut memaknai puisi saya ya Kak. Keren Kak Maria.

    BalasHapus
  3. Siapa kah kita?
    Apakah laut yang kehilangan birunya?
    Atau telaga yang kehilangan beningnya?
    Atau kah manusia yang kehilangan kodratnya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin sesekali ya kak
      Tapi tidak untuk berlanjut...
      Terimakasi kak Taumy

      Hapus
  4. Selalu ada kata kehilangan di baris yang ke-4.
    Terkadang, kita baru menyadari akan pentingnya sesuatu, setelah sesuatu itu hilang dari diri kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setelah sepertinya sudah terlambat...semoga kita tidak mengalami hal tsb ya. Terimakasih Mas Ris....

      Hapus
  5. bagus kak puisinya, apalagi dibawain dengan musik biola tambah keren lagi

    BalasHapus
  6. I should visit this post one more time to see those picture, Kak . Sambil berusaha mencari jawab siapakah kita 😉

    BalasHapus
  7. Setidaknya kita bukan invividu seperti tokoh di puisi tsb ya kak. Thanks kak Muti

    BalasHapus
  8. Keren banget ini Kak Tuty..terpana sih sama diksinya dan makna yang dalam. Aku bingung mau komentar apa ekwkwk..

    BalasHapus
  9. tulisan, diksinya yang mba tuty tulis bernyawa banget....simpel namun menepuk...

    BalasHapus
    Balasan
    1. atuh belum seberapa dibandingkan piawainya Mas Agus menjalinkata dalam tulisan.

      Hapus
  10. Siapakah Kita?
    Seperti matahari dan bulan yang bersisian meski dalam lintas yang sama tapi enggan beradu pandang


    Siapakah kita
    Seperti debu dan kerikil yang tersiram hujan. Teduh namun harus pasrah meluruh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitulah adanya, kak.
      terimakasih untuk sambungan puisi yang ciamik pisan

      Hapus
  11. Jujur aku belum terbiasa membaca dan memaknai puisi, pilihan kata-katanya seperti "getah cakrawala","kerak kemarau" dll,membuat aku "wah kok bisa kepikiran"


    Pada tangan tak berfikir dan kaki tak berhati

    Terpuaskah anarki dengan menggadang alibi ?

    Terus kalimat-kalimat itu, bikin saya mikir mendalam atas tindakan saya yang sepeeti itu.

    Maafkan komentarnya ini dangkal dibandingkan teman-teman lain, semoga saya bisa banyak belajar daru mbak Tuty

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dear Kak Gina,
      wah kakak keren atuh berusaha memahami makna kata di puisi saya... terimakasih ya

      Hapus
  12. Reading a poetry is actually not my thing, tapi kok pesannya di puisi ini kena banget ya. Thank you!

    BalasHapus
  13. keren kak tuty puisinya. pemilihan diksi nya mantap.
    tetap terus berkarya ya kak tuty

    BalasHapus
  14. Kak tuty emang pujangga deh.. super sekali.. begitu nyantol di kepala langsung ditulis

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tahu nih kak, susah nahan tangan untuk stop nulis puisi

      Hapus
  15. saya membayangkan danau kehilangan kabut justru sedang cerah tak murung hehee

    BalasHapus
  16. Jujur ini puisi bagus, tapi aku ga bisa menghayati dikala jiwa sedang bahagia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selamat ya Mas Dayu dengan si dia. Ikut senang atuh

      Hapus
  17. Salut! Tipsnya gimana sih biar bisa bikin puisi yang bagus dan dalem kayak gini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin karena puisi sudah menjadi keseharian saya. Nyaris setiap hari saya nulis puisi.

      Hapus
  18. Kita?
    Siapa?
    Seonggok daging berbalut nafsu dunia
    Bermuka topeng yang pandai mendua!
    Ah
    Kita....

    BalasHapus
  19. "Seperti duka laut kehilangan biru" suka sama kalimat ini.
    Bacanya sambil rebahan di kamar, sendiri. Dapet feelnya. Keren mba tuty

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya pecinta laut. Aseli berduka kalau pas ke laut sedang kotor atau 'kehilangan biru'

      Hapus
  20. Meskipun ga paham semua kata di puisi ini. Tapi visualisasi dengan foto menggambarkan sesuatu yang teramat gersang. Sesuatu yang membuat gerah��

    Ok gue sotoy.

    Puisinya bagus banget :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ndak sotoy atuh, memang sejak awal motret sudh saya abngyangkan akan menulis puisi tentang apa... pas banget momentnya

      Hapus
  21. Ini puisinya sedih ditambah visualisasinya hitam putih jadi lebih berasa sedihnya..
    Ini ceritanya tentang kehilangan kan ya mbak tuty.. kehilangan jati diri.. sotau banget aku.. hahah..
    Suka kata2 "Seperti duka laut kehilangan biru"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tos kita kak Leni, "seperti duka laut kehilangan biru"
      bagi saya sesuatu banget.....

      Hapus