Sabtu, 25 Agustus 2018

Tahun Kedua (III)




Waham bermedia maaf itu bertajuk tuntutan
Yang jungkir balik mengatur nafas kehidupan
Dengan mengulik alur diafragma penyesalan
Sebab asas pembenaran terikat dikendalikan
          Mempersalahkan aku, dia

Citra bermuatan maaf adalah aib sempurna
Di setiap ruas pengakuan yang kaku tertata
Maklumat tanya tak bermata hati tanpa kata
Terpilihkan semua tiada satu bebas tersisa
        Mempermalukan aku, dia

Lebam kelabu otak disesaki residu maaf
Pemurnian yang tersumbat prahara khilaf
Tersandung objektif terkepung naif subjektif
Terpasung di pantas ambang angka atau huruf
         Menafikkan aku, dia

Saat sang pengubur jati diri pergi berlalu
Umpatan pecundang terhapus dari daftar menu
Seraya memunguti harga diri yang terbalut debu
Tertatih diri menggaris batas dengan masa lalu
           Menadirkan aku, dia

Sang pelumat jati diri tak mungkin kembali
Mesiu penatpun liar berhamburan unjuk diri
Tapi jejaknya kukuh tertinggal tak mau pergi
Tetap hadir di setiap sudut hati mengunci hari
              Dia, menjadikan aku, dia

Selasa, 14 Agustus 2018

45

Rasakan hangat yang sesekali
Tanpa diidentifikasi sebagai ada
Merentang senyum di ambang bebas


Resapi dalam bingkai imitasi
Tanpa identitas dinyatakan terbuka
Merentas sesaat di hantaran batas



Redakan tarik ulur imajinasi
Tanpa ikhtisar terlarut masa
Merintangi perisai diri terlepas



Rehatkan bisik yang datang lalu pergi
Tanpa meruap usang panca indra
Bagai merintis kandas di ceruk lawas

Beda

Bilahkah  di antara nyata
Dilepaskan atau dilupakan?
Jika  kemarin masih di hari ini
dan esok kembali menjadi kemarin


Katanya angin terhadang berpusara
Lalu alih menyerah saat berpandangan
Entah sebab membeku atau memuai
Hingga tercekik di mata dan pikiran


Tersengajakah rintik yang terbawa?
Berandai menahan atau membiarkan
Dimanakah kata akan dimulai
Jika guratan ini berkabut impian