“Ikutan komunitas, ngapain juga sih?”
Ketika kita bergabung dalam suatu komunitas, biasanya ada beberapa
pertanyaan ‘klasik’ yang kerap terlontar. Mengapa disebut pertanyaan ‘klasik’ ?
Antara lain karena -bahkan- sebelum ditanyakan, kita sering kali telah ‘mempersiapkan’
jawabannya. Mengingat, hal-hal yang
ditanyakan begitu umum….
Sebagian dari kita, sudah menduga akan ditanyakan hal-hal seperti, untuk
apa bergabung di suatu komunitas.
Mengapa tertarik bergabung di komunitas tersebut atau mengapa ‘harus’
komunitas tersebut, bukan komunitas lainnya. Siapa yang mengajak atau apa yang kita
harapkan dengan bergabung di suatu komunitas. Lalu, kontribusi apa yang bisa
kita berikan untuk kemajuan komunitas.
Mungkin ada juga yang penasaran, kenapa kita bergabung di beberapa
komunitas sekaligus. Bahkan ada juga yang mempertanyakan mengapa mengikuti
lebih dari satu komunitas sejenis. Serta sederet pertanyaan selanjutnya. Lalu kitapun punya ‘daftar jawaban’ yang
normatif, argumentatif maupun sekenanya. Demikian juga, jika kita memutuskan
keluar dari suatu komunitas.
Pertanyaan – pertanyaan tersebut, berasal dari internal maupun eksternal
komunitas. Bahkan tidak jarang, dari diri kita sendiri. Tidak bisa dipungkiri juga, terkadang tidak ada
alasan subjektif maupun objektif yang pas atas bergabung atau keluarnya kita
dari suatu komunitas. Namun, mestikah
pihak lain tahu alasan kita.
“Ikutan komunitas, ngaruhnya apa?”
Sedangkan dalam pandanganpsikologis akan ada pertanyaan ‘menarik’
lainnya. Misalnya, apakah keikutsertaan kita pada suatu
komunitas terkait dengan penguatan identitas diri ( secara personal ) atau
justru penguatan identitas sosial kita dalam konteks komunal. Sejauh mana peran komunitas yang diharapkan
oleh individu? Sejauh mana peran individual dalam penguatan suatu komunitas?
Dari berbagai literatur, dapat dikatakan bahwa komunitas pada hakikatnya
merupakan kumpulan individu yang memiliki tujuan serupa. Dengan bergabung di dalam suatu komunitas, dapat
membantu individu mencapai suatu tujuan-yang sulit dicapai secara individual.
Seperti bergabungnya individu di komunitas jalan-jalan.
Tentunya bukan semata-mata alasan materi ataupun ‘senasib seperjuangan’
dalam perjalanan. Namun kebersamaan tersebut dapat berlanjut menjadi hubungan
yang lebih intens secara pribadi, emngembangkan hobby, minat maupun bakat atau
sebagai pemenuhan kebutuhan sosial maupun bisnis dan seterusnya. Pernah
mengalami ? Tentunya tidak terlepas dari
pengalaman-pengalaman yang juga tidak mengenakkan selama berkomunitas, yang
‘menggagalkan’ tujuan tersebut.
Disadari atau tidak. Diniatkan atau bukan. Ditunjukkan atau sebaliknya.
Di dalam berkomunitas, sebagian dari
kita secara signifikan berusaha
menunjukkan Identitas diri. Bahkan menguatkan Identitas diri dengan berusaha
menarik pengakuan dari sesama anggota kelompok. Seperti, mempunyai julukan khas
yang identik dengan diri kita. Citra tertentu yang menjadikannya berbeda dari
anggota komunitas lainnya.
Sebagian yang lain, sesama anggota komunitas turut mendorong kita untuk
menunjukkan identitas diri kita sampai eksistensi diri. Bahkan didapuk menjadi
‘pimpinan’ secara informal atau berdasarkan kesepakatan bersama. Penguatan identitas diri yang terkadang unik,
belum tentu kita dapati di dunia kerja maupun tingkat pendidikan formal.
Dalam konteks tulisan ini, identitas diri dimaksudkan sebagai kesadaran
akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan
sintesis dari semua aspek terkait konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh ( Stuart dan Sundeen, 1991 ).
Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan memandang
dirinya berbeda dengan orang lain, dalam hal perasaan diri berharga, mempunyai
kemampuan tertentu bahkan penguasaan terhadap kehendak diri. Bisa juga, identitas diri tersebut justru disematkan atau
mendapat ‘justify’ oleh sesama anggota komunitas.
Sementara itu, sebagian lainnya
justru ingin menguatkan identitas sosialnya dengan jalan berkomunitas.
Identitas sosial dalam hal ini sebagai bagian dari konsep diri seseorang yang
berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu komunitas yang
diiringi oleh signifikansi nilai dan emosi keanggotaan tersebut ( Tajfel,
1982 ) . Jadi, identitas sosial berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli
serta rasa bangga seseorang atas keangotaannya di dalam komunitas tertentu.
Terlepas dari berperan penting atau tidaknya kita dalam komunitas tersebut.
Jika disederhanakan, dapatlah dikatakan bahwa apabila kita bergabung
dalam komunitas yang well known maka membawa kebanggaan tersendiri bagi
identitas sosial kita. Individu tersebut
bahkan bisa sampai memiliki kelekatan emosional. Misalnya, akan turut membela
identitas komunitasnya jika ada yang mencoba mencorengnya. Seru, ya?
“Ikutan komunitas?
Ya untuk ikut-ikutan aja…”
Ups!! Apapun jawaban kita atas pertanyaan-pertanyaan tadi, sungguh
tergantung pada kebutuhan, atau keingintahuan
atau passion bahkan keisengan
kita atau apapun itu. Terserah, karena kita termasuk saya, mempunyai beragam
jawaban yang normatif, unik atau tertentu. Namun, yang perlu menjadi catatan adalah jangan
sampai bergabungnya kita tersebut ternyata sia-sia. Baik bagi diri kita maupun
komunitas itu sendiri. Namun, kalau
boleh saya penasaran (sekali-sekali boleh kan… ), ada alasan khusus kamu bergabung
dalam suatu komunitas ?
____________________
Inspiring Books
Faturochman &
Tabah Aris Nurjaman. 2018. Psikologi Relasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Harmaini dkk. 2016. Psikologi Kelompok. Jakarta : Rajawali Pers
Komaruddin Hidayat
& Khiruddin Bashori. 2016. Psikologi Sosial. Jakarta : Erlangga